Pengajian Ahad Legi: Lunturnya Sifat-Sifat yang Mulia

Pengajian Ahad Legi: Lunturnya Sifat-Sifat yang Mulia

Niki Beliau, Rasulullah, gerah. Sayyidina Jibril alaihissalam, pendamping e Kanjeng Nabi nggeh susah, (Beliau Rasulullah sakit. Sayyidina Jibril, pendamping Nabi juga merasa sedih),” tutur KH. Muchitur Rusyda, pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyiin, Kediri, dalam Pengajian Rutin Ahad Legi, 4 Februari 2024.

Kisah tersebut berawal karena Nabi Muhammad saw., sedang sakit. Malaikat Jibril sebagai pendamping Beliau merasa sedih dan kasihan. Lalu Malaikat Jibril meminta izin kepada Allah ta’ala untuk menjenguk Nabi. Allah pun mengizinkannya.

Malaikat Jibril pun berangkat ke rumah Nabi Muhammad. Setibanya di sana, Nabi bertanya, “Wahai Jibril, apakah engkau turun membawa wahyu?” Malaikat Jibril menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau masih turun ke bumi setelah Aku meninggal?” Malaikat Jibril pun menjelaskan bahwa ia turun ke bumi hanya untuk mengangkat lima sepuluh sifat-sifat yang mulia perlahan-lahan.

Mengangkat Berkah, Mahabbah, dan Syafaqah

Pertama, Malaikat Jibril akan mengangkat berkah dari bumi sedikit demi sedikit. Berkah itu kebaikan yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Ketika mempunyai sedikit rezeki tapi merasa cukup, itu disebut berkah.  

Selain itu, ilmu juga termasuk berkah. “Berkah yang ada di bumi akan diangkat pelan-pelan, termasuk barakatul ‘ilmi (berkah ilmu),” jelas Kiai Muchitur Rusyda. Seorang ulama Salaf berkata, “Berkah itu bersama orang-orang mulia di sekitarmu.” Orang mulia itu seperti ulama dan wali. Mereka membawa banyak ilmu dan keberkahan. Tetapi semakin berjalannya waktu, orang-orang seperti itu semakin berkurang, menandakan keberkahan juga semakin berkurang.

Kedua, Malaikat Jibril akan mengangkat mahabbah (kecintaan) kepada Allah dan para rasul. Zaman dulu ada banyak orang yang bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Itu menandakan adanya hubungan batin mereka dengan Nabi melalui mahabbah. Namun, mahabbah itu semakin berkurang sekarang.

Ketiga, mengangkat syafaqah (belas kasih) dari hati makhluk, termasuk manusia. Orang zaman dulu gemar memperkenalkan kerabat kepada anak-anaknya. Kebiasaan itu bisa memunculkan rasa syafaqah kepada mereka. Jadi ketika sudah hidup sendiri, anak-anak tersebut mengetahui mana kerabat-kerabatnya sehingga tali silaturahmi tetap tersambung.

Namun sekarang sudah berbeda dengan adanya teknologi informasi jarak jauh. Kerabat yang seharusnya sangat dekat menjadi jauh. Orang lain yang jauh menjadi lebih dekat. Makanya muncul istilah, “Wong liya dadi dulur. Dulur dadi wong liya. (Orang lain menjadi saudara. Saudara menjadi orang lain)” Padahal sesama kerabat bisa memberi syafaat di hari kiamat, tapi sekarang semakin luntur.

Pengangkatan Keadilan, Zuhud dan Wara

Keempat, Malaikat Jibril mengangkat keadilan dari para pemimpin. Oleh karena itu, sekarang mencari pemimpin yang benar-benar adil sangat sulit. Sudah banyak berita yang mengabarkan kasus-kasus ketidakadilan yang terjadi di dalam pemerintahan atau kepemimpinan. Tidak mengherankan banyak demonstrasi, Keadilan, Zuhud dan Wara di Indonesia maupun di luar negeri.

Kelima, mengangkat sifatzuhud atau wara, sifat menjauhi perkara yang haram dan makruh serta tidak cinta terhadap duniawi. Sifat yang banyak terdapat dalam diri ulama. Sifat tersebut semakin berkurang. Banyak orang yang melakukan kemaksiatan dan tetap merasa kurang terhadap harta dunia.

Maka dari itu, sifat-sifat tersebut semakin pudar dari bumi hingga tidak ada lagi di akhir zaman. Banyak terlihat orang-orang yang berbanding terbalik dengan sifat-sifat di atas. Meski begitu, sebisa mungkin untuk bisa mempertahankan sifat-sifat tersebut.

(Riki Mahendra Nur C./Mediatech An-Nur II)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK