Ketika Harga Diri Tak Sebanding dengan FYP

Ayo dibeli-dibeli, seribu dapat tiga! Apa? Mau beli semuanya?

Jujur, saya bukan penggemar media sosial. Ketika Facebook  booming kisaran tahun 2000-an, saya sengaja tidak ikut-ikut membuat akun. Bukan karena tidak tertarik, hanya saja pada saat itu smartphone adalah barang langka di rumah saya. Pun ketika Instagram mulai naik daun, lagi-lagi saya tidak keburu membuatnya. Bukan karena tidak punya smartphone, tapi karena saya lagi tidak butuh. Apalagi basis saya yang lebih sering berkutat di kepenulisan, bukan foto ataupun desain grafis yang lebih cocok dengan ekosistem Instagram.

Sehingga, ketika kini TikTok mulai merajai media sosial, saya lagi-lagi tidak ikut-ikutan. Sekali lagi, saya pikir itu tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya. Saya penulis, bukan videografer. Jadi saya tidak membutuhkannya.

Kan bisa jadi penikmatnya saja? Mungkin itu pertanyaan yang terlintas. Lagipula tidak semua orang yang membuat akun TikTok ahli membuat video. Malah, banyak dari mereka yang hanya ingin sekadar melepas penat, beristirahat dari kehidupannya dengan menonton video singkat yang menghibur.

Namun, memang akal saya sudah bebal. Bukan tanpa alasan saya bersikap demikian. Sehingga berujung pada keogahan saya membuat akun TikTok. Begini, saya jelaskan satu persatu alasan saya tidak ikut-ikutan. Mengapa saya tidak mau ikut meramaikan media sosial padahal saya generasi Z?

Pertama, kembali ke booming-nya Facebook. Pada saat itu, di keluarga saya memang mempunyai kebijakan yang berbeda. Tidak ada gawai mewah di rumah. Tidak ada komputer. Apalagi ponsel semacam Blackberry, yang pada saat itu cukup mumpuni digunakan ber-Facebook­ ria. Jadi, buang jauh-jauh anggapan kalau saya sudah dimanjakan dengan Android sejak belia.

Kedua, akibat dari pendidikan semacam itu di keluarga, saya jadi malas ketika bertemu dengan yang namanya media sosial. Pun ketika sudah mempunyai ponsel pribadi. Sejauh yang saya alami, hanya akun Twitter, Quora, Pinterest, Whatsapp, dan turunan medsos miliki Google, semacam Hangout dan YouTube, yang saya sengaja buat. Sengaja di sini karena memang adanya kebutuhan. Twitter misalnya, untuk mencari berita dari cuitan pengguna. Quora untuk mendalami argumen khalayak ramai. Pinterest untuk mencari ide. Whatsapp dan Hangout untuk komunikasi. YouTube untuk melepas penat.

Ketiga, dari ramainya TikTok, muncul beberapa pesaing baru. Sebut saja SnackVideo, atau Reels buatan Instagram. YouTube pun tak mau kalah. Ia membuat YouTube Shorts sebagai senjata agar tidak tergerus zaman. Alhasil, saya sebagai salah satu penggunanya pun ikut terlibat dalam keriuhan YouTube Shorts. Sehingga, ketika nafsu saya sudah terpuaskan dengan YouTube Shorts, untuk apa saya mengunduh TikTok, yang punya fungsi sama dengan YouTube Shorts.

Namun, mungkin perlu ada beberapa catatan tambahan. Alasan-alasan di atas memang didasarkan dari lingkungan, pengalaman, dan pemikiran pribadi. Jadi, sah-sah saja jika Anda sekalian mengunduh aplikasi itu dan menggunakannya sesuai kebutuhan.

Ya, sesuai kebutuhan. Karena dewasa ini, sudah banyak pengguna yang tidak lagi menggunakannya sesuai kebutuhan. Berhenti setelah selesai memanfaatkannya. Namun, banyak dari mereka yang menjadikan aplikasi ini sebagai pemuas nafsu.

Banyak dari mereka yang lebih mengutamakan FYP (For Your Page) daripada harga dirinya. Lebih mengutamakan ketenaran daripada keselamatan. Ujung-ujungnya, mereka rela melakukan apapun untuk menggapai tujuan yang kadang belum jelas manfaatnya tersebut.

Menurut saya pribadi, sikap seperti itu adalah sikap orang rendahan. Mana ada manusia yang rela diinjak-injak harga dirinya. Apalagi bila dibandingkan dengan ketenaran dunia yang tiada apa-apanya di akhirat kelak. Wallahua`lam.

(Nabil Abdullah Alghifari/STIKK)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK