Kajian Tafsir: Surat Izin Perang dan Lari dari Kematian

“(4) Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan. (5) Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan(nya).” (Q.S. Al-Hijr: 4-5)

***

Pada zaman dahulu, umat Islam sering kali berperang melawan orang-orang kafir yang hendak menghancurkan agama Islam. Namun tahukah kalian bahwa, perang tersebut tidak asal mereka lakukan. Tetapi mereka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Allah Swt.

Kemudian saat Nabi Muhammad Saw., tengah hijrah ke Madinah, Allah Swt., memberikan “surat izin perang” melalui surat Al-Hajj ayat 39 yang berbunyi,

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (39)

Artinya, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka.”

Dari ayat tersebut Allah Swt., dengan tegas mengizinkan umat Islam untuk berperang melawan orang-orang kafir yang memerangi Islam. Umat Islam berperang bukan dengan unjuk gigi, melainkan karena mereka ingin membela diri dari penganiayaan orang kafir yang telah mereka lakukan selama Nabi masih tinggal di Makkah.

Saat Allah Swt., telah memberi izin untuk berperang, semua muslimin berbondong-bondong ingin mengikuti perang yang Nabi kabarkan. Walaupun mereka tidak terlalu kuat, tapi dengan iman yang tangguh mereka yakin dapat menang melawan orang-orang kafir.

Maka takdir Allah Swt., sudah bulat, Ia memberi azab pada orang-orang kafir yang memerangi Islam. Jika takdir Allah Swt., sudah bulat, maka tidak akan ada yang bisa lari dari takdir tersebut.

Kemustahilan Lari dari Kematian

Sesuai dengan surah Al-Hijr ayat 5 bahwa, tiada orang yang dapat mendahului ajalnya maupun mengundurnya. Maka kita tidak bisa untuk meminta ajal kita segera datang atau mengundurnya karena cepat atau lambat kita pasti akan menemui ajal kita masing-masing.

Dahulu kala, pada zaman Nabi Sulaiman as., waktu itu beliau tengah berkumpul dengan para sahabatnya. Kemudian datanglah seseorang yang tidak mereka kenal, dan ia langsung duduk di sebelah Nabi Sulaiman as.

Tidak lama kemudian, orang itu pun pergi. Salah seorang di sana bertanya pada Nabi Sulaiman As., “Wahai Nabi Sulaiman As., siapa orang itu?” Lalu Nabi menjawabnya, “Dia adalah Malaikat Maut.” Sontak orang itu gemetar, wajahnya pucat pasi. Sahabat yang baru saja bertanya berterus terang, “Jikalau dia memanglah malaikat maut, celaka aku, karena sedari tadi ia terus melirik ke arahku, seakan-akan ia ingin mencabut nyawaku.”

Kemudian orang tersebut meminta Nabi Sulaiman, untuk memerintahkan angin dan membawanya terbang. Lantas angin beliau membawanya sampai ke India, yang mana kala itu Nabi Sulaiman tinggal di Palestina. Jarak antara India dan Palestina ialah sekitar 6.000 km.

Keesokan harinya, Nabi Sulaiman kembali bertemu dengan Malaikat Maut. Nabi bertanya, “Mengapa engkau melirik ke salah seorang sahabatku?” Malaikat Maut pun menjawab, “Karena Allah Swt., memerintahku untuk datang ke suatu negeri untuk mencabut nyawa seseorang, tapi aku mampir terlebih dahulu kemari. Tetapi saat aku kemari, aku melihat orang yang wajahnya sama persis dengan orang yang akan aku cabut nyawanya. Jadi aku pastikan dia, tapi TKP-nya bukan di sini.”

Malaikat itu tidak terlalu peduli dengan apa yang telah ia lihat, yang pasti tugasnya ialah mencabut nyawa orang tersebut saat ada di India. Saat Malaikat itu sampai di India, ia langsung mencabut nyawa orang itu sesuai dengan apa yang telah Allah Swt., perintahkan.

Maka kesimpulan yang dapat kita ambil ialah, sejauh apa pun kita berlari, ajal tetap akan datang pada kita. Jadi lari dari ajal ialah sesuatu yang mustahil. Yang niatnya lari agar terhindar dari kematian, justru tempat kita lari itu mendekatkan kita pada kematian. Karena jika kita lari dari ajal, maka ajal yang akan menyusul kita.

(Farkhan Wildana S./Mediatech)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK