Adat Mengalahkan Segalanya

Setiap daerah di seluruh belahan bumi ini pasti punya adat atau kebiasaan tersendiri. Jangan jauh-jauh, di Indonesia pun bahkan dalam satu daerah punya beberapa adat yang berbeda. Hal seperti ini biasa dan bukan sesuatu yang mengejutkan. Lalu faktor apa yang menyebabkan adanya perbedaan adat di setiap daerah? Faktor terbesar dari adanya perbedaan adat tersebut ialah adanya perbedaan sifat penduduk antar daerah.

Telah kita ketahui bahwa tidak seluruh daerah mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka darinya hal ini berpotensi besar ada beberapa adat atau kebiasaan suatu daerah yang bertentangan dengan syariat Islam. Lalu bagaimana ulama menanggapi hal ini?

Tenang saja kawan, para ulama zaman dahulu sudah memikirkan hal tersebut. Bentuk pemikiran tersebut tertuang dalam salah satu kaidah fikih yang masyhur yang berbunyi : “العادة محكمة”  atau bisa diartikan sebagai “Sebuah adat atau kebiasaan bisa menjadi pertimbangan sebuah hukum syariat”.

Semisal kalau kita tengok ke permasalahan kewanitaan (haid, nifas dan lain-lain) kita akan mengetahui bahwa penghitungan masa sedikit banyaknya seseorang yang haid meninjau kebiasaan (adat) yang berlaku. Dan itulah yang dilakukan oleh imam kita yakni Imam Syafi’i. Beliau melakukan penelitian

Mengapa bisa muncul kaidah seperti ini? Bagaimana bisa sebuah adat memengaruhi hukum syariat?

Kaidah ini ternyata punya landasan dalil, yakni sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “”ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن yang berarti “Setiap sesuatu yang dipandang oleh manusia sebagai sebuah kebaikan, maka menurut Allah hal tersebut merupakan sebuah kebaikan.”

Dari hadis di atas dapat kita pahami bahwa suatu adat atau kebiasaan yang dipandang baik oleh manusia, maka menurut Allah hal tersebut juga dianggap sebagai sebuah kebaikan. Juga berarti sebuah pandangan manusia (adat) bisa mempengaruhi pandangan Allah (syariat Islam).

Lalu apa itu adat yang terdapat dalam kaidah ini? Dalam kitab Idhah Al-Qawaid dijelaskan bahwasannya adat ialah suatu tindakan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Untuk berapa kali dilakukan tindakan tersebut agar bisa disebut adat yang dimaksud dalam konteks ini beragam, ada yang hanya dilakukan sekali bisa dikatakan sebagai adat semisal pada permasalahan istihadhah. Ada yang harus dilakukan berkali-kali agar bisa dianggap sebagai sebuah adat semisal masalah kokok ayam yang dapat menjadi penunjuk suatu waktu dan lain-lain.

Kembali ke permasalahan awal, bagaimana jika ada suatu kebiasaan yang malah bertentangan dengan syariat? Mana yang dimenangkan? Jawabannya yang dimenangkan ialah adat tersebut. Sesuai dengan kaidah di atas bahwa adat tersebut dijadikan pertimbangan hukum. Semisal dalam permasalahan sumpah.

Seseorang yang telah sumpah bahwa dia tidak akan makan daging kok ternyata dia memakan ikan, maka seseorang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah. Mengapa? Karena secara adat ikan bukanlah termasuk kategori daging. Banyak bukan dari kita membedakan antara daging dengan ikan? Daging lebih diarahkan kepada hewan-hewan yang bisa dimakan selain ikan, meskipun sejatinya ikan yang seseorang makan tersebut juga daging!!.

Namun, syariat mempertimbangkan adat atau kebiasaan yang menyatakan bahwa ikan bukan termasuk daging, dan efeknya ia tidak dianggap melanggar sumpah. Itu merupakan salah satu contoh ketika syariat bertentangan dengan adat.

Namun ada yang perlu ditegaskan di sini. Hal di atas tidak bisa diberlakukan secara umum. Jadi tidak setiap adat yang bertentangan dengan syariat maka dimenangkan adat tersebut. Harus butuh peninjauan terlebih dahulu.

Mungkin hanya itu yang bisa penulis berikan di sini. Tak banyak, tapi semoga bermanfaat. Sekian dan wassalam.

*Artikel ini sudah diposting di website Ma’had Aly dengan judul yang sama.

(M Ilham Firmansyah/Ma’had Aly)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK