Pengajian Ahad Legi: Dasar Tradisi Tahlil, Istigasah, dan Pemilihan Hari 

Pengajian Ahad Legi: Dasar Tradisi Tahlil, Istigasah, dan Pemilihan Hari 

“Wafatnya orang yang alim adalah musibah yang tak tergantikan dan sebuah lubang yang tak tertutupi. Meninggalnya orang yang berilmu lebih berat daripada orang sekampung,” setidaknya seperti itu ucapan KH. Ma’ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, menyampaikan hadis riwayat Ath-Thabrani. 

Sejak dulu, para kiai mengajarkan kepada masyarakat untuk berziarah ke pemakaman, tapi jarang yang mengetahui asal ibaratnya. Dalilnya terdapat dalam salah satu kisah Nabi Muhammad saw. Dahulu ada seorang sahabat bernama Sa’ad bin Mu’adz. Kemudian Nabi Muhammad saw. dan para sahabat lainnya berziarah ke rumah Sa’ad bin Mu’adz. Saat itu, jenazah masih ada di rumahnya. 

Nabi dan para sahabat mengikuti penguburan jenazah Sa’ad bin Mu’adz. Setelah penguburan selesai, Nabi Muhammad saw. membaca tasbih di samping makam Sa’ad bin Mu’adz. Sahabat-sahabat Beliau pun ikut membaca tasbih. Beliau membaca tasbih sangat lama. 

Setelah itu, Nabi Muhammad saw., berganti membaca takbir. Para sahabat juga mengikutinya. Kemudian, ada yang bertanya kepada Nabi, “Mengapa engkau membaca tasbih lalu takbir?” Nabi menjawab bahwa tanah kubur Sa’ad bin Mu’adz menyempit dan tanahnya bergetar. Setelah membaca tasbih dan takbir tersebut, tanahnya kembali melebar dan jasadnya selamat. 

Akan tetapi, ada hal yang mengganjal pikiran lagi. Apakah bacaan tasbih dan takbir bisa sampai kepada mayit? Buktinya ada pada kisah di atas. Jika bacaan tersebut tidak sampai, pasti tanah kubur  Sa’ad bin Mu’adz akan menyempit dan mengimpit jenazahnya. Namun, nyatanya tanahnya melebar lagi. Kisah ini menjadi bukti mayit bisa mendapat manfaat bacaan tasbih dan takbir dari orang-orang yang masih hidup.

Landasan Istigasah dengan Peristiwa Nabi

Selain tahlil, ada juga istigasah. Alasan adanya istigasah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan Muharam terutama hari Asyura. Dalam sebuah riwayat Al-Bazzar mengatakan,

عاشوراءُ عيدُ نبيٍّ كانَ قبلَكُم فصوموهُ أنتُمْ

“Hari Asyura adalah perayaan para nabi sebelum kamu, jadi puasalah padanya!”

Maksud perayaan dalam riwayat tersebut di mana para nabi mendapatkan keselamatan dari Allah sehingga terhindar dari musibahnya. Seperti Nabi Musa a.s., yang selamat dari kejaran Firaun, Nabi Ibrahim a.s., selamat dari kobaran api, dan peristiwa lainnya. Semuanya terjadi pada hari Asyura di bulan Muharam. 

Salah satu peristiwa pada hari Asyura yang paling berhubungan dengan istigasah adalah saat Nabi Yunus a.s., berhasil keluar dari perut ikan Nun. Sebagaimana dalam surah As-Shaffat ayat 139-148 yang menceritakan peristiwa tersebut. Jelasnya, seandainya beliau tidak dari golongan orang-orang ahli zikir, beliau akan tetap berada di dalam perut ikan Nun. Namun, Allah memberikan pertolongan karena Nabi Yunus termasuk ahli zikir dan beliau pun berhasil keluar. 

Hal ini menjadi dalil orang yang sering mengingat Allah dengan zikir, niscaya Allah akan memberinya pertolongan. Istigasah juga termasuk zikir. Maka dari itu, semestinya kita menggunakan waktu ini sebaik-baiknya terutama dengan berzikir kepada Allah. Hikmahnya apabila musibah datang, kita bisa memohon pertolongan kepada Allah. 

Menelaah lebih lanjut, dalam HR. Abu Dawud musibah ada tiga macam:

  1. Musibah dalam diri kita, seperti sakit.
  2. Musibah dalam harta kita, seperti masalah ekonomi.
  3. Musibah dalam anak kita, seperti anak yang mondok tapi tidak kerasan. 

Oleh karena itu, apabila mendapatkan musibah mesti bersabar. Senantiasa berdoa supaya memperoleh pertolongan dari Allah. 

Meyakini Hari Pembawa Sial dan Pencarian Tanggal

Kembali ke pembahasan bulan Muharam, di Pulau Jawa terdapat sebuah tradisi tidak menikah dan pindah rumah pada bulan itu. Semisal ada seseorang menikah atau pindah rumah pada bulan Muharam, kemudian suatu hari mendapat musibah. Ia beranggapan musibah itu datang karena menikah atau pindah rumah pada bulan tersebut. Keyakinan seperti ini tidak boleh.

Pada masa Nabi Muhammad saw., sebelum hijrah ke Madinah, di sana terdapat keyakinan tidak menikah di bulan Syawal. Menurut mereka, pada bulan Syawal ialah waktu pengangkatan ekor unta betina dan tidak baik untuk menikah pada bulan itu. 

Namun setelah Nabi hijrah, Beliau pun menikahi Sayidah Aisyah pada bulan Syawal. Sebagaimana ucapan Sayidah Aisyah dalam HR. Muslim dan At-Tirmidzi, “Rasulullah saw., menikahiku di bulan Syawal, dan mulai mencampuriku di bulan Syawal, maka istri beliau manakah yang kiranya lebih mendapat perhatian besar di sisinya daripada aku?” 

Hal ini menunjukkan meyakini bahwa hari dan bulan dapat mendatangkan kesialan itu tidak benar. Jadi menikah atau pindah rumah pada bulan Muharam bukan masalah. Tetapi kalau ingin ikut tradisi tidak apa-apa asalkan hanya ikut-ikut saja dan tidak meyakini bulan itu membawa kesialan. 

Lalu, perihal menikah atau pindah rumah dengan mencari hari, bagaimana? Dalam kitab Talkhis Al-Murad fi Fatawi ibn Az-Ziyad, Imam Ibnu Ziyad mengutip dari Imam Ibnu Farkah menjelaskan jika ada seseorang menikah dengan mencari hari tapi ia tetap berkeyakinan bahwa takdir dari Allah Swt., maka tidak apa-apa.

Jika jika ada orang yang menikah dan meyakini masalah atau kesialan suatu hari datang karena ia menikah pada bulan Muharam, misalnya, maka tidak boleh. Manfaat atau mudarat tidak datang dari hari, tapi Allah lah yang menentukannya. Tidak ada hubungan antara takdir dengan hari pelaksanaan. 

(Riki Mahendra Nur C./Mediatech An-Nur II)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK