Kalimat Marx dan Eksistensi Tuhan dalam Diri Umat Islam Sekarang

Tempo dulu, salah satu sosiolog bernama Karl Marx pernah menyatakan: “Agama adalah opium bagi masyarakat.” Pernyataan itu ia sampaikan pada karyanya: A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843) dengan bahasa Jerman. Satu potongan kalimat itu membuat publik mengecamnya; menganggapnya sebagai pembenci agama. Orang-orang memahami kata “opium” dalam kalimatnya sebagai bentuk kebenciannya terhadap kaum agamis. Padahal, sebenarnya bukan itu yang Marx maksudkan.

Kesalahan dalam Penerjemahan Kalimat Marx

Sebelumnya, dalam penerjemahan maksud kalimat dalam teks tak bisa semena-mena menerjemahkan. Juga perlu studi – melihat kalimat atau paragraf sebelumnya – untuk memahami maksud dari sebuah kalimat. Begitu pula dalam menerjemahkan kalimat Marx.

Langsung menerjemahkan “Sie ist das Opium des Volks” dengan “Agama adalah opium bagi masyarakat,” – tanpa melihat kalimat atau paragraf sebelumnya – memang akan menghasilkan pemahaman bahwa Marx menganggap agama sebagai “opium” yang sama sekali berdampak buruk pada manusia. Maknanya akan berbeda jika melihat pernyataan sebelum kalimat tersebut.

Pernyataannya beserta kalimat sebelumnya dalam bahasa Jerman sebagai berikut:

“Die Religion ist der Seufzer der bedrängten Kreatur, das Gemüth einer herzlosen Welt, wie sie der Geist geistloser Zustände ist. Sie ist das Opium des Volks.”

Terjemah bahasa Indonesia:

“Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat.”

Kata “opium” – dalam kalimat ia (agama) adalah opium bagi masyarakat – bermakna gramatikal, berupa majas alegori: membandingkan agama dengan opium. Mengiaskan agama sebagai opium memang akan membuat kesan agama menjadi buruk. Namun, sebelum pernyataan itu, Marx menjelaskan agama sebagai “desah napas”, “keluhan hati”, dan “jiwa” manusia sebagai makhluk. Jika penjelasan ini disambungkan dengan pernyataan “Agama adalah opium,” maka konteks dari “opium” bukanlah obat candu, melainkan obat penenang – seperti yang ia katakan sebelumnya: berupa desah napas, keluhan hati, dan jiwa masyarakat.

Kenapa Marx Mengatakan Agama Adalah “Opium”?

Tidak ada yang bisa benar-benar memastikan alasan Marx melontarkan kalimat itu. Namun, ada satu kemungkinan mengapa ia mengatakan demikian: saat ia menemukan kecurangan penguasa Eropa, yakni menggunakan agama untuk mengendalikan rakyat demi kepentingan sendiri. Menanggapi hal itu, muncul lah argumennya terkait agama sebagai opium bagi masyarakat.

Marx berpendapat bahwa agama memiliki pengaruh besar pada manusia. Menurutnya, agama bisa memberikan pengaruh psikis: memunculkan kebahagiaan, kesedihan, dan menetralkan. Sehingga kondisi itu membikin rendah hasrat kaum tertindas – oleh sistem kapitalis – untuk memprotes penguasa. Seakan agama bisa mengubah pikiran menjadi kosong, seperti fungsi opium. Dengan kecenderungan itu, kaum kapitalis menjadikan agama sebagai “alat” pengendali rakyat; membuat mereka tunduk dalam penindasan.

Pada intinya, pernyataannya terkait agama sebagai opium adalah sebagai ungkapan rasa geram Marx terhadap para kaum kapitalis. Dengan mudahnya, mereka mengendalikan rakyat; memanfaatkan agama sebagai senjata. Para penguasa membodoh-bodohi rakyat dengan agama.

Dengan begitu, Marx bukanlah pembenci agama. Interpretasi yang tidak tepat lah yang membuatnya diserang oleh kaum agamis. Marx sebenarnya ingin menasihati kaum agamis agar tetap bijaksana dengan agamanya, bukan alih-alih menyebarkan ajaran atheisme yang saat ini masyarakat kenal.

Eksistensi “Tuhan” dalam Diri Umat Islam Saat Ini

Berbincang perihal agama, sudah dari dulu, banyak yang memperdebatkan eksistensinya, terutama pada Tuhan. Berbagai argumen pro dan kontra dengan berbagai nalar dan pembuktian. Agama Islam sendiri memercayai adanya Tuhan, yakni Allah Swt., melalui Al-Quran – dengan berbagai keajaibannya. Islam pun menjadi agama mayoritas di Indonesia.

Namun, melihat keadaan umat Islam sekarang, seakan mereka memiliki paham atheisme: tidak meyakini adanya Tuhan. Dulu, saat masa Nabi Muhammad ﷺ masih hidup, Islam benar-benar terasa unsur keagamaannya. Sedikit orang yang melakukan maksiat. Banyak yang hafal Al-Quran, pun mengingat Tuhan mereka: Allah ﷻ.

Berbeda dengan Islam zaman dahulu yang sangat kental keislamannya, zaman sekarang sama sekali pudar. Para wanita banyak yang tidak menutup aurat. Banyak orang hanya menyibukkan diri pada hal duniawi, mengurangi kegiatan ukhrawi. Mengenai keadaan tersebut, kiranya ada satu ayat Al-Quran yang masih sehaluan:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ  اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Artinya: “Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (Q.S. Al-Ḥasyr [59]:19)

Pada ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa orang-orang melupakan-Nya, akan dibuat lupa diri. Begitulah yang terjadi saat ini: banyak umat Islam yang melupakan Allah, sehingga mereka lupa diri bahwa statusnya adalah seorang hamba yang membutuhkan Tuhannya.

Maka seharusnya sebagai umat Islam, senantiasa mengingat Allah dengan terus berzikir; berkeluh kesah kepada-Nya, dan terus menjalankan prinsip takwa: melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Juga menaati perintah Rasul-Nya. Dengan demikian, kita akan termasuk dari ahluljannah (ahli surga), insyaallah. Wallahualam

(Moch. Athoillahil Qodri/LingkarPesantren)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK