Tingkatan Tayammum

tayammum, Tingkatan Tayammum, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

Tingkatan Tayammum

Diverbalkan dari “Cangkru’an Fathul Mu’in

Tayammum ialah bersuci dengan menggunakan debu. Dalam kitab I’anah at-Thalibin, dipaparkan bahwa macam ibadah ada tiga tingkatan:

a)      Tingkatan pertama: Shalat fardlu walaupun kefardluan tersebut disebabkan nadzar (misal, kalau saya lulus UN maka saya akan shalat 100 raka’at), thawaf fardlu, dan Khutbah Jumat.

b)      Tingkatan kedua: Shalat Sunnah, Thawaf Sunnah dan Shalat Jenazah.

c)       Tingkatan ketiga: Selain pada tingkatan pertama dan kedua, seperti membaca al-Quran, Sujud Tilawah, Sujud Syukur, dan sebagainya.

Setelah itu, dilanjutkan dengan sebuah kalimat yang berbunyi:

فإذا نوى واحدا من المرتبة الأولى استباح واحدا منها، ولو غير ما نواه استباح معه جميع الثانية والثالثة.

 

Secara  sekilas mungkin kita akan membaca kalimat yang bergaris bawah dengan menjadikan huruf law sebagai huruf syarat dan kata setelahnya ialah fi’il madly (ghayyara), sehingga kata istabaha menjadi jawab syarat. Bila dibaca dengan redaksi semacam itu, berarti bahwa bila seseorang yang bertayammum berniat dengan salah satu dari tingkatan pertama (misalnya, saya niat tayammum agar diperbolehkan melakukan shalat isya’), maka ia boleh melakukan satu fardlu dari tingkatan pertama tersebut.

 

Dan bila ia merubah (ghayyara) apa yang diniati, maka ia boleh melakukan satu fardlu dan semua yang ada pada tingkatan kedua dan ketiga. Pertanyaannya: Apakah kebolehan untuk melakukan satu shalat fardlu (dengan tayammum) beserta semua sholat sunnah tergantung pada “taghyirun niat (merubah niat)”? Apakah tanpa taghyirun niat, ia tidak boleh melakukan ibadah yang di tingkatan kedua dan ketiga? Lalu, kapan taghyirun niat dilakukan?

 

Akan tetapi, setelah ditelusuri dalam kitab lain didapati bahwa ada satu huruf yang “perlu ditambahkan”, yaitu wawu diletakkan setelah lafadz ma nawahu atau sebelum istabaha ma’ahu. Dalam kitab Al-Baijuri,  Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, dan Hawasyi as-Syarwani ditulis:

فإذا نوى واحدا من المرتبة الأولى استباح واحدا منها، ولو غير ما نواه واستباح معه جميع الثانية والثالثة.

 

Pada redaksi ini, huruf law ialah huruf ghayah (walaupun). Artinya, bila seseorang yang bertayammum berniat dengan salah satu dari tingkatan pertama, maka ia boleh melakukan satu fardlu dari tingkatan pertama tersebut (walaupun satu fardlu itu bukan yang ia niati, misal ia niat tayammum agar diperkenankan melakukan shalat Maghrib, ternyata ia pakai untuk shalat nadzar) dan ia juga boleh melakukan ibadah yang berada pada tingkatan kedua dan ketiga.

 

وإذا نوى واحدا من الثانية استباح جميعها وجميع الثالثة دون شيء من الأولى. وإذا نوى شيئا من الثالثة استباحها كلها وامتنعت عليه الأولى والثانية.

 

Bila ia berniat tayammum agar diperkenankan melakukan salah satu dari tingkatan kedua (misalnya, shalat dhuha) maka ia boleh melakukan seluruh ibadah yang berada pada tingkatan kedua dan ketiga, tapi tidak boleh melakukan ibadah tingkatan pertama. Begitu pula bila ia berniat tayammum agar diperbolehkan melakukan salah satu dari tingkatan ketiga, maka ia hanya boleh melakukan semua yang ada pada tingkatan ketiga saja.

Wallahu a’lam…

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK