Sejarah dan Konflik Rakaat Salat Tarawih

PASAR WAQIAH RAMADAN MALAM KE-5: Sejarah dan Konflik Rakaat Salat Tarawih

KAJIAN SEJARAH TARAWIH

OLEH: Dr. KH. FATHUL BARI, S.S., M. Ag.

مَن قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ

Artinya: “Barang siapa yang salat malam pada bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah mengampuni semua dosa-dosa yang ia perbuat sebelumnya.” (HR. Bukhari) 

annur2.net – Ini merupakan dalil yang kuat bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah salat Tarawih. Pada zaman Nabi Muhammad saw., nama Tarawih belum digunakan. Redaksi yang ada adalah qaama atau qiyamul lail.

Allah akan mengampuni  semua dosa orang yang melakukan salat Tarawih. Maka hanya tersisa pahala pada dirinya dan ini sudah cukup seseorang masuk surga. Selain itu, hadis di atas sudah menjadi landasan hukum dan fadilah dari salat Tarawih.

Banyak hadis yang menyebutkan fadilah salat Tarawih, tetapi tidak masuk akal. Misalnya hadis dalam kitab Durrah An-Nasihin. Dalam hadis itu menyebutkan fadilah setiap malam salat Tarawih. Banyak ulama yang mengatakan hadis itu palsu.

Kepalsuan itu berdasar dari berbagai pandangan. Salah satunya redaksi lafaznya. Dalam hadis itu menggunakan lafaz tarawih, sedangkan pada zaman Nabi Muhammad belum ada istilah salat Tarawih.

Selain itu, macam-macam fadilahnya berlebihan. Semisal saat malam pertama mendapat pahala seperti Allah berikan ke Nabi Ibrahim dan fadilah malam ke-29 mendapat 1.000 pahala haji. 

Awal Nabi Muhammad Salat Tarawih

Siti Aisyah meriwayatkan hadis Nabi Muhammad saw., mengenai salat malam pada bulan Ramadan. Suatu malam bulan Ramadan, Nabi melaksanakan salat di Masjid Nabawi. Orang-orang yang melihat itu ikut berjemaah di belakang beliau.

Pada malam selanjutnya, orang-orang menunggu Nabi Muhammad di Masjid Nabawi. Saat itu Nabi tidak keluar ke masjid. Esok hari, Nabi memberi tahu alasan kenapa tidak keluar tadi malam. Nabi khawatir seandainya setiap hari keluar malam ke masjid dan melaksanakan salat, para sahabat menganggap salat itu wajib. Itu akan memberatkan mereka.

أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ

Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, banyak orang melaksanakan salat Tarawih. Tetapi pelaksanaannya sendiri-sendiri, tidak berjamaah. Melihat itu Khalifah Umar merasa tidak nyaman memandangnya. Beliau pun memiliki ide untuk mengumpulkan semua orang dan memilih satu orang untuk menjadi imam. Ini menjadi awal mula pelaksanaan salat Tarawih berjemaah. Imam pertama saat itu adalah Ubay bin Ka’ab.

Penamaan Salat Tarawih

Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam karangannya berjudul Fath Al-Bari menjelaskan asal-usul nama Tarawih. Beliau berkata:

وسميت تراويح، لأنهم كانوا يستريحون بين كل تسليمتين

Artinya: “Dinamakan Tarawih, karena terdapat istirahat di setiap dua kali salam.”

Tarawih berasal dari kata bahasa Arab Tarwiyatun yang berarti istirahat. 

Perbedaan Rakaat Tarawih

Mengenai jumlah rakaat, Imam Malik berpendapat dari Yazid bin Khuzaimah, bahwasanya orang-orang pada zaman Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan 20 rakaat salat Tarawih dan 3 rakaat witir. Banyak ulama yang mengikuti pendapat ini.

Beberapa ulama juga menetapkan bahwa jumlah rakaatnya hanya sebelas: delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Ini berlandaskan hadis dari Siti Aisyah ra.,

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَزِيْدُ – فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ – عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Artinya: “Rasulullah saw., tidak pernah menambah jumlah rakaat melebihi sebelas rakaat pada bulan Ramadan ataupun selainnya.”

Banyak yang mempertimbangkan hadis ini untuk menentukan rakaat salat Tarawih. Dalam hadis di atas menggunakan redaksi “pada bulan Ramadan dan selainnya”. Kata “selain Ramadan” seharusnya tidak perlu, sebab salat Tarawih hanya terlaksana saat bulan Ramadan.

Perbedaan lagi muncul saat zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menentukan rakaat Tarawih berjumlah 36 rakaat. Ketentuan ini hanya berlaku di Kota Madinah Al-Munawwarah untuk menyamakan dengan kota Makkah.

Ketentuan itu ada karena kota Madinah dan Makkah adalah kota yang suci. Jika di kota Makkah setiap empat rakaat atau dua kali salam mereka beristirahat dengan melakukan tawaf, di Madinah menambahi empat rakaat dua salam untuk mengganti tawaf yang dilakukan di Kakbah, Makkah.

Setiap pendapat tersebut benar sebab Nabi Muhammad saw., tidak pernah menentukan dengan spesifik jumlah rakaat salat Tarawih. Ini tidak menjadi masalah. Hal terpenting, kita melaksanakan salat, bukan tidak salat.

Hukum Salat dengan Cepat

Dalam salat Tarawih identik dengan pelaksanaannya yang cepat. Rasulullah juga pernah melakukan salat dengan cepat saat salat fajar (qobliyah Subuh). Sesuai riwayat Siti Aisyah:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ

Rasul juga menganjurkan para imam salat Tarawih untuk salat dengan cepat. Suatu hari ada seorang laki-laki yang mengeluh ke Nabi jika imam salatnya lama dan ia tidak mau lagi jamaah di masjid. Dari pengaduan ini, Nabi menganjurkan ke para imam salat Tarawih salat dengan cepat dan memperhatikan kondisi makmum. 

Selain itu, ada kisah seorang ulama yang salat dengan cepat. Seseorang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau salat dengan cepat?” Ulama itu menjawab bahwa ia adu kecepatan dengan setan. Jika dia salat lama banyak setan yang datang menggodanya. Alhasil dia tidak khusyuk saat salat.

Saat pelaksanaan salat cepat banyak yang membaca surah Al-Ikhlas. Ada kisah seseorang dengan julukan imam qulhu pada zaman Nabi. Ia mendapat julukan itu karena setiap salat dan rakaatnya membaca surah Al-Fatihah dan Al-Ikhlas, tetapi sesudah Al-Ikhlas ada tambahan surah lain.

Para makmumnya tidak betah. Akhirnya mereka mengadu kepada Nabi Muhammad. Mendapat aduan itu, beliau memanggil imam tersebut. Setelah datang, beliau bertanya kepadanya mengapa setiap salat membaca surah Al-Ikhlas. Ia menjawab bahwa ia jatuh cinta pada surah itu.

Kemudian Nabi menyampaikan kabar gembira untuknya:

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أُحِبُّ هَذِهِ السُّورَةَ : { قُلْ هُوَ اللهُ أحَدٌ } قَالَ : (( إِنَّ حُبَّهَا أَدْخَلَكَ الجَنَّةَ )) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ

Artinya: Dari Anas ra. “Ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai surah ini (surah Al-Ikhlas).’ Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya dengan mencintainya dapat memasukkanmu ke dalam surga.’” (HR. Imam At-Tirmidzi)

(Abu Raihan Efendi/Mediatech An-Nur II)