Santri Kok Bingung

santri, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

“Santri itu enak, tidak pernah bingung masalah kerja.” Ujar Dr. KH. Fathul Bari, S.S., M.Ag., membuka orasi beliau dalam acara Wisuda dan Ikhtitam Fathil Mu’in Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning (STIKK). Beliau berpesan, “Santri kalau sudah pulang, kalau tidak sibuk dengan pekerjaan harus sibuk dengan wiridan. Kalau tidak lembur urusan dunia, harus lembur masalah akhirat.”

Seorang santri tidak boleh mudah bingung apalagi sampai berkelanjutan, karena santri memiliki pengetahuan, dan itu akan menjadikan santri memiliki pendirian yang teguh atas apa pun. Sebagai mana dijelaskan dalam nadhom Alfiyah Ibnu Malik,

وكل حرف مستحق للبنا – والأصل في المبني أن يسكنا

“Setiap individu itu punya pendirian, dan itu dibuktikan dengan ketenangan.” Ujar Kiai Fathul mengutip sebuah nadhom.

Ada sebuah kisah tentang ketenangan hati. Di sebuah desa ada 2 orang yang memiliki nama sama, Baihaqi. Namun, nasib kedua orang ini berbeda, Baihaqi yang satu berprofesi sebagai marbut, sedang satunya seorang pengusaha. Baihaqi marbut, biasa dipanggil Ustaz oleh warga desa, sadar betul bahwa rezeki dan kekayaan adalah urusan Allah. Oleh karenanya dia tidak pernah terlalu memikirkan masalah kekayaan, yang penting dia memilki pekerjaan halal.

Sedangkan Baihaqi yang satu lagi, biasa dipanggil Pak Baihaqi oleh warga desa, selalu berusaha untuk menambah pundi-pundi kekayaan yang ia miliki, kerja sedari pagi hingga malam. Perilaku kedua Baihaqi ini mengundang penilaian masyarakat sekitar. Mereka menilai kehidupan Ustaz Baihaqi ayem, karena beliau jarang terlihat murung, bahkan saat beliau tidak memilki uang. Berbanding terbalik dengan Pak Baihaqi, yang meskipun bergelimang harta namun raut wajahnya tidak pernah tenang, selalu terlihat gelisah.

Santri jadi apa saja pantas

“للرفع والنصب وجرنا صلح # كاعرف بنا فاننا نلنا المناح”

Kiai Fathul kembali mengutip nadhom Alfiyah. “Santri itu seperti dhomir ‘نا’, rofa’ nashob jer tetep ‘نا’.” Lanjut beliau. Maksudnya, sebagai santri kita pantas berada di posisi apa saja. Sebagai pejabat, pengusaha, rakyat biasa, apa pun kita pantas.

Jadi kita tidak perlu minder untuk bercita-cita tinggi dan berusaha sekuat mungkin. “Santri kalau tidak punya harta, ilmunya akan memberikan manfaat kepadanya.” Kiai Fathul berpesan. Sebagai santri kita bisa berdakwah dengan cara apa pun, dengan ilmu sudah pasti. Dengan kekayaan pun bisa, kita tampakkan kekayaan kita dan kita ajak orang-orang melakukan kegiatan-kegiatan positif, karena mayoritas masyarakat memiliki tendensi terhadap orang yang kaya.

“Yai Bad itu memotivasi santri-santrinya untuk menampakkan kekayaan mereka.” ujar Kiai Fathul. Namun tujuannya jelas bukan untuk menjadikan mereka pibadi yang cinta dunia, melainkan sebagai ajang promosi kebaikan kepada masyarakat sekitar mereka. Hal ini senada dengan hadis “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.”

Pintu Keberkahan Ilmu

Abdullah bin Abbas, masyhur dengan panggilan Ibnu Abbas, adalah seorang sahabat yang lahir 3 tahun sebelum hijrah. Rasulullah wafat saat Ibnu Abbas berusia 13 tahun. Setelah kewafatan baginda nabi Ibnu Abbas menuntut ilmu kepada sahabat-sahabat senior. Walau hanya belajar dalam waktu 2 bulan, Ibnu Abbas mampu meriwayatkan ribuan hadis. Ini merupakan berkah dari khidmat beliau kepada Rasulullah SAW.

Ibnu Abbas berkhidmat kepada Rasulullah sejak kecil, sejak kecil pula Ibnu Abbas berada di rumah beliau. Pernah suatu ketika Ibnu Abbas mengisikan ember untuk nabi saat beliau hendak pergi ke kamar mandi. Melihat ember yang sudah terisi penuh, tidak seperti biasanya baginda nabi lantas mencari-cari siapa yang melakukan hal ini, dan ternhyata itu adalah perbuatan Ibnu Abbas.

Keesokan harinya beliau mendatangi Ibnu Abbas dan mengkonfirmasikan hal tersebut. Baginda nabi yang merasa senang dan rida dengan hal tersebut lantas mendoakan Ibnu Abbas, “Ya Allah, pahamkanlah dia (Ibnu Abbas) dengan agama dan ajarkanlah ia urusan takwil.” Berkah dari doa nabi tersebut, Ibnu Abbas akhirnya menjadi sahabat yang pandai meskipun saat usinya masih muda.

Ini merupakan tanda bahwa keberkahan ilmu itu didapat dari khidmat kita kepada guru. Setinggi apa pun pangkat kita, sepandai apa pun kita, kita tidak boleh melupakan guru kita. Kita harus tetap mendoakan mereka. Imam Hambali juga mendoakan guru beliau, Imam Syafii, selama 40 tahun. Mendoakan guru adalah salah satu cara agar kita terus terhubung dengan mereka. oleh karenanya jangan sampai kita tidak mendoakan guru-guru kita.

(Muhammad Abror S/Mediatech)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK