PUASA TEMPO DOELOE

PUASA TEMPO DOELOE

Diriwayatkan dari Amr bin Al-Ash ra., Rasul saw., bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

“Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab adalah makan sahur.” [HR. Muslim]

Catatan Alvers

annur2.net – Puasa Ramadan baru dilaksanakan oleh para sahabat pada tahun ke dua setelah mereka hijrah ke Madinah. Imam Nawawi berkata: Rasul SAW., berpuasa di bulan Ramadan selama sembilan kali karena puasa Ramadan baru di wajibkan pada tahun ke dua hijrah tepatnya pada bulan Syakban dan beliau wafat pada tahun 11 H pada bulan Rabiul Awal. [Al-Majmu’]

Sebelumnya, kamu muslimin diwajibkan untuk berpuasa di hari Asyura. Sayyidah Asiyah berkata:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

“Dahulu orang Quraisy berpuasa Asyura pada masa Jahiliyah dan Nabi SAW., pun berpuasa Asyura pada masa Jahiliyah. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa Asyura dan memerintahkan orang-orang di sana untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadan telah diwajibkan, beliau meninggalkan puasa hari Asyura (dan beliau bersabda): ‘Barang siapa berkehendak maka silakan berpuasa, dan barang siapa berkehendak maka silakan tidak puasa.’” [HR. Bukhari]

Asyura adalah hari bersejarah bagi Nabi Musa dan umatnya. Orang-orang Yahudi di Madinah tatkala mereka ditanya mengenai Asyura mereka menjawab:

هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ

“Hari ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan Kaumnya, dan menenggelamkan Firaun serta kaumnya. Karena itu, Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan syukur, maka kami pun melakukannya.” [HR. Bukhari Muslim]

Dan Muadz bin jabal ra., berkata:

فُرِضَ صَوْمُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ، ثُمَّ نُسِخَ وُجُوبُهُ، وَفُرِضَ صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَهِيَ الْأَيَّامُ الْبِيْضُ، ثُمَّ نُسِخَتْ فَرْضِيَّتُهَا بِصَوْمِ رَمَضَانَ

“Puasa hari Asyura dahulu diwajibkan kemudian dihapus kewajiban itu dan diwajibkanlah puasa tiga hari setiap bulan yakni pada ayyamul bidl (13,14,15 Bulan Hijriyah) kemudian dinasakh (hapus) dengan diwajibkannya puasa bulan Ramadan.” [Nihayatul Mathlab]

Pada puasa periode pertama, kalau seseorang berpuasa lalu tiba waktu berbuka namun ia tertidur sebelum berbuka maka ia tidak boleh makan, kesempatan berbuka telah hilang dan ia harus meneruskan puasa pada malam dan siang hari hingga waktu berbuka berikutnya tiba. Ibrahim At-Taymi berkata:

كَانَ الْمُسْلِمُوْنَ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ يَفْعَلُوْنَ كَمَا يَفْعَلُ أَهْلُ الْكِتَابِ إِذَا نَامَ أَحَدُهُمْ لَمْ يَطْعَمْ حَتَّى الْقَابِلَةِ

“Kaum muslimin pada masa awal Islam mereka berpuasa seperti cara berpuasanya Ahli kitab yaitu ketika sudah tidur (pada malam hari) maka ia tidak boleh lagi makan sampai buka berikutnya.” [Fathul Bari]

Ini adalah sisi kesamaan antara puasa kita dengan puasa orang-orang terdahulu yang disebutkan dalam ayat:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”[QS Al Baqarah: 183].

Cara berpuasa seperti ini terus dilakukan hingga kejadian yang menimpa Qais berikut ini. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Al-Bara’ ra., berkata: Qais bin Shirmah Al-Anshariy ketika tiba waktu berbuka dia mendatangi istrinya seraya berkata: “Apakah kamu punya makanan?” Istrinya berkata: “Tidak, namun aku akan keluar untuk mencarikan makanan untukmu”. Karena di siang harinya dia capek bekerja (di perkebunan Madinah dengan upah) maka dia pun mengantuk lalu tertidur dan ketika istrinya datang, Ia melihat Qais (tertidur) maka istrinya berkata: “Rugilah kamu.” Kemudian pada tengah harinya Qais jatuh pingsan (karena kelaparan). Lalu persoalan ini diadukan kepada Nabi saw., maka kemudian turunlah ayat:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan makan minumlah kalian hingga menjadi terang bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” [QS. Al-Baqarah: 187]

Dengan demikian sejak saat itu, orang yang berpuasa boleh makan minum mulai Magrib sampai saat fajar tiba dan tidur pada malam hari tidak lagi menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap makan. Al-Bara’ berkata:

فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا

“Dan para sahabat merasa sangat senang dengan turunnya ayat itu.” [HR. Bukhari]

Dan dengan demikian menjadi berbeda antara puasa kita dengan umat terdahulu. Ketika malam hari sebelum fajar kita masih diperbolehkan makan. Said bin Jubair berkata:

كاَنَ صَوْمُ مَنْ قَبْلَنَا مِنَ الْعَتَمَةِ إِلَى اللَّيْلَةِ الْقَابِلَةِ كَمَا كَانَ فِي ابْتِدَاءِ الْإِسْلَامِ

“Puasa umat sebelum kita adalah dimulai dari waktu Isya sampai malam (Magrib) berikutnya, hal ini sebagaimana puasa pada permulaan Islam.” [Tafsir Al-Bahgawi]

Bahkan kita dianjurkan makan sebelum fajar tiba yaitu dengan makan sahur yang mana ini tidak dilakukan oleh mereka sebagaimana hadis utama di atas, “Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab adalah makan sahur.” [HR. Muslim]

Namun demikian pada dasarnya kita dan mereka sama-sama berpuasa pada bulan yang sama yaitu bulan Ramadan. Al-Baghawi dalam tafsirnya menukil bahwa Ulama berkata: “Dahulu puasa Ramadan juga diwajibkan kepada orang-orang Nasrani seperti diwajibkan kepada kita, namun karena bulan Ramadan bertepatan dengan cuaca yang sangat panas dan terkadang cuaca sangat dingin juga maka hal itu memberatkan kehidupan mereka. Para ulama dan pemimpin mereka berkumpul dan memutuskan bahwa waktu pelaksana puasa dipindahkan pada musim pertengahan antara musim hujan dan musim kemarau, yaitu bulan Rabi’ dan mereka menambahkan 10 hari sebagai denda pemindahan tersebut sehingga menjadi 40 hari. Hal itu berlangsung hingga raja mereka sakit dan bernazar jika sembuh maka akan menambah seminggu dari puasa mereka lalu sang raja sembuh. Ketika raja tersebut meninggal maka raja penggantinya memerintahkan agar puasanya di genapkan menjadi 50 hari.” [Tafsir Ma’alimut Tanzil]

Maka alhamdulillah sekiranya kita selaku umat Islam tetap berpuasa di bulan Ramadan sebagaimana dahulu diwajibkan dan para ulama kita tidak mengubah-ubah ajaran puasa ini sehingga tetap sesuai dengan aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasul saw.

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan pikiran kita agar senantiasa berpuasa di bulan Ramadan dengan aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasul saw.

Salam Satu Hadis,

Dr. H. Fathul Bari, S.S., M.Ag.

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani

Ayo Mondok! Mondok itu Keren!

WhatsApp Center:  0858-2222-1979

NB.

Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata: _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]