Pendengar Gibah Juga Mendapatkan Dosa

Ihya Ulum Ad-Din: Gibah Tidak Sebatas Lisan (3)

annur2.net – Salah satu bentuk gibah lainnya adalah mendengarkan orang yang bergibah. Benar, mendengarkan seseorang yang membicarakan orang lain karena tertarik membahasnya. Ketertarikan itu membuat pendengarnya antusias bergibah. Biasanya ketika mendengar orang bergibah, pendengarnya berkata, “Aku tidak tahu kalau dia ternyata seperti itu. Yang aku tahu sampai sekarang dia adalah orang baik. Ternyata tidak. Semoga Allah mengampuni kita dari siksa-Nya.” Ucapan itu menandakan pendengar membenarkan pembahasan yang berarti dia bergibah. Bahkan orang yang diam saat orang di sampingnya menggunjing termasuk bergibah. Rasulullah SAW., bersabda, “Pendengar (orang yang gibah) adalah salah satu dari dua orang yang bergibah.”

Suatu hari, salah satu dari Khalifah Abu Bakar RA., dan Umar RA., berkata, “Fulan itu orang yang sering tidur.” Kemudian, mereka ingin makan tapi hanya memiliki roti. Mereka pun pergi menemui Nabi Muhammad SAW., untuk mencari lauk. Tapi, Nabi berkata, “Kalian berdua benar-benar sudah makan lauk.” Khalifah Abu Bakar dan Umar mengatakan, “Tidak, kami belum memakannya.” Lalu Nabi berkata lagi, “Iya, sesungguhnya kalian berdua sudah memakan daging saudara kalian sendiri.” Maksudnya, meskipun yang membahas Fulan hanya satu di antara Abu Bakar dan Umar, tapi Nabi memasukkan keduanya sebagai orang yang gibah. Berarti orang yang mendengarkan gibah juga bergibah.

Selain itu, suatu ketika ada orang yang meninggal dengan keadaan tengkurap. Ada dua orang yang salah satunya berbicara, “Orang itu tengkurap seperti terkurapnya anjing.” Mendengar itu, Nabi Muhammad mengatakan, “Gigitlah daging jenazah itu.”

Kapan Pendengar Tidak Mendapat Dosa Gibah?

Pendengar gibah tidak akan lepas dari dosa, kecuali jika dia mengingkarinya dengan ucapan atau hatinya jika takut menggunakan lisan, meskipun mampu untuk berdiri meninggalkan orang-orang yang gibah atau memotong pembicaraan dengan pembahasan lain. Apabila tidak melakukannya, maka ia akan mendapatkan dosa karena ikut bergibah. Bahkan meskipun mengatakan, “Diam!” kepada penggibah, tapi isi hati sebenarnya ingin melanjutkan gibah, dia tetap berdosa.

Mengingkari gibah tidak cukup pula dengan isyarat tangan menutup mulut atau dengan alis dan dahi. Tindakan ini meremehkan terhadap pembahasan gibah. Ia menganggap gibah itu hal sepele. Padahal kita harus menganggap gibah sebagai hal buruk yang besar, sehingga kita perlu mengingkarinya dengan cara yang lebih serius. Tidak hanya dengan isyarat. Rasulullah SAW., bersabda:

مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ فَلَمْ يَنْصُرْهُ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى نَصْرِهِ أَذَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ على رؤوس الخلائق

“Barangsiapa yang menghinakan orang mukmin dan tidak menolongnya padahal mampu maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk.”

Dalam riwayat Abu Darda’, Nabi Muhammad juga bersabda:

مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَرُدَّ عَنْ عِرْضِهِ يوم القيامة

“Barangsiapa membela kehormatan saudaranya secara rahasia, maka Allah akan menjaga kehormatannya pada hari kiamat.

Riwayat lain juga mengatakan, bahwa Nabi Bersabda:

من ذب عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبِ كَانَ حَقًّا عَلَى الله أن يعتقه من النار

“Barang siapa yang membela kehormatan saudaranya tanpa sepengetahuannya, maka Allah akan membebaskannya dari api neraka.”

(Riki Mahendra Nur C./Mediatech An-Nur II)