Pasar Waqiah Ramadan: Kiat-Kiat Berbakti kepada Orangtua
Pasar Waqiah Malam ke-13 Ramadan
Birrul walidain atau berbakti kepada orangtua adalah kewajiban bagi semua orang. Manusia bisa lahir di dunia dengan perantara dari ayah dan ibu. Ibu sangat berusaha dalam menjaga kandungannya supaya bisa menghasilkan keturunan. Pada saat melahirkan, ibu sangat kesusahan mengeluarkan bayi dari rahimnya. Setiap hembusan napas sangat berharga baginya. Setelah bayi itu lahir, ayah berusaha mencari uang untuk menafkahi keluarga. Begitu besar usaha dan jasa orangtua supaya anak mereka tumbuh besar dan sehat.
Oleh karena itu, anak harus berbakti kepada orangtuanya dengan berbuat baik kepada mereka. Apalagi anak akan semakin dewasa dan orangtua akan memasuki masa lansia. Seharusnya ia paham bahwa berbakti kepada orangtuanya adalah hal yang tidak bisa ia langgar. Sebagaimana dalam surah Al-Isra ayat 23,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Tidak Diskriminatif kepada Orangtua
Berbakti kepada orangtua juga tidak boleh membeda-bedakan. Ada orangtua yang merawat anaknya dengan baik, tapi terkadang ada juga orangtua yang tidak memedulikan anaknya, bahkan menelantarkannya. Dalam kondisi ini, sang anak tetap harus berbuat baik kepada mereka, entah mereka mau membiayai anaknya ataupun tidak. Sebab birrul walidain adalah perintah Allah, bukan sekadar membalas jasa orangtua.
Ada sebuah kisah dari Abdullah bin Umar ketika tawaf di Baitullah. Di sana, ada seorang pemuda dari Yaman yang tawaf sambil menggendong ibunya. Setelah mengetahui ada Abdullah bin Umar di sana, pemuda tersebut menghampirinya. Ia bertanya, “Sesungguhnya aku adalah unta bagi ibuku. Jika ia takut menungganginya, aku tidak takut (untuk ia tunggangi). Wahai Ibnu Umar! Apakah menurutmu aku telah membalas jasa ibuku?” Abdullah bin Umar menjawab, “Tidak, bahkan tidak bisa untuk membalas satu hembusan napas (saat melahirkanmu).” (Imam Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad)
Kisah tersebut menunjukkan bahwa sang anak tidak bisa membalas jasa orangtua hanya dengan berbakti kepadanya. Misalnya tidak bisa membahagiakan orangtua, maka jangan buat mereka bersedih bahkan menangis.
Ada pula kisah dari Abdullah bin Umar tentang seorang pemuda yang datang kepada Nabi Muhammad saw. Ia meminta izin untuk ikut berhijrah, “Aku datang untuk berbaiat kepadamu dalam berhijrah dan aku meninggalkan orangtuaku yang menangis.” Rasulullah pun menjawab, “Kembalilah kepada mereka dan buat mereka tertawa sebagaimana kamu membuatnya menangis.” (HR. Abu Dawud)
Doa Orangtua Mustajabah
Ketika orangtua meridai anaknya, mereka akan mendoakan anaknya dengan harapan-harapan yang baik. Selain itu, Allah akan mengabulkan harapan-harapan dan doa-doanya karena orangtuanya telah meridainya, bahkan yang belum mereka inginkan. Begitu juga jika orangtua marah kepada anaknya, kalau sampai berdoa yang buruk, Allah akan mengabulkannya. Sebagaimana dalam hadis berikut,
رِضى اللَّهِ في رِضى الوالِدَينِ ، وسَخَطُ اللَّهِ في سَخَطِ الوالدينِ
“Rida Allah di dalam rida orangtua, dan amarah Allah di dalam amarah orangtua.”
Tak hanya itu, doa orangtua termasuk ke dalam doa yang mustajabah (Allah akan mengabulkannya), sebagaimana dalam hadis berikut,
عن ابي هريرة, قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ : دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ ، ودعوةُ الصائِمِ ، ودعوةُ المسافِرِ (رواه البيهقي)
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw., bersabda, ‘Ada tiga doa yang pasti Allah kabulkan: doa orangtua kepada anaknya, doa orang yang dizalimi, dan doa orang musafir.’” (HR. Al-Baihaqi)
Tetap Memprioritaskan Ibu daripada Istri
Dalam berbakti, tidak boleh mendahulukan seseorang selain orangtua. Bahkan ketika laki-laki sudah beristri, ia harus tetap mengutamakan ibunya. Ibu tetaplah ibu. Berbeda dengan perempuan, ketika sudah memiliki suami, ia harus mengutamakan suaminya karena orangtuanya sudah merelakannya saat akad pernikahan. Sedangkan suaminya yang akan mengurus orangtuanya dan mertuanya.
Sebuah kisah dalam kitab Al-Kabair, ada seorang pemuda bernama Alqomah di zaman Nabi saw. Ia adalah orang yang sungguh-sungguh dalam berpuasa, salat, dan sedekah. Suatu ketika, ia sakit dan bertambah parah, bahkan naza’ tapi belum bisa meninggal. Istri Alqomah pun berkunjung kepada Rasulullah dan melaporkan kondisi suaminya.
Setelah itu, Rasulullah mengutus Ammar, Suhaib, dan Bilal untuk menuju ke rumah Alqomah. Sesampainya di sana, mereka menuntun Alqomah membaca kalimat syahadat berupa tahlil, “Laa ilaaha illa Allah”. Namun, Alqomah tidak bisa mengikutinya seolah ada yang menahan. Ammar, Suhaib, dan Bilal pun melaporkan hal ini kepada Nabi.
Kemudian, Nabi bertanya, “Apakah ada yang masih hidup dari orangtuanya?” Lalu ada yang menjawab, “Ada, ibunya.” Nabi pun mengutus untuk mengabari ibu Alqomah untuk bertemu Nabi. Akhirnya, ibu Alqomah pergi ke rumah Nabi.
Nabi pun menyuruh ibu Alqomah untuk jujur lalu bertanya, “Bagaimana kelakuan anakmu Alqomah?” Ibu Alqomah menjawab, “Ia banyak salat, puasa, dan sedekah.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Lalu bagaimana denganmu?” Ibu itu menjawab, “Aku marah kepadanya karena ia memprioritaskan istrinya daripada aku.” Nabi pun bersabda, “Sesunggunya amarah ibu Alqomah telah menghalangi Alqomah mengucapkan syahadat.”
Setelah itu, Nabi mengutus Bilal mengumpulkan kayu bakar. Ketika ibu Alqomah bertanya untuk apa, Nabi menjawab, “Aku akan membakar Alqomah dengan api di hadapanmu.” Ibu Alqomah pun memohon untuk tidak membakarnya karena tidak tega. Kemudian Nabi bersabda, “Wahai Ummu Alqomah, siksa Allah lebih pedih dan kekal. Jika engkau ingin Allah mengampuninya, maka ridailah ia.” Akhirnya ibu Alqomah meridai putranya.
Lalu, Nabi menyuruh Bilal untuk melihat kondisi Alqomah, apakah ia sudah bisa mengucapkan syahadat. Ketika Bilal akan masuk ke rumah Alqomah, terdengar Alqomah mengucapkan, “Laa ilaaha illa Allah”. Alqomah pun sudah bisa pergi dengan tenang.
(Riki Mahendra Nur C./Mediatech An-Nur II)
Leave a Reply