Abu Awfa, seorang sahabat Rasul meriwayatkan : Ketika itu kami berkumpul dengan Rasulullah SAW. Tiba-tiba beliau bersabda,
لا يحل لرجل أمسى قاطع رحم إلا قام عنا
“Jangan duduk bersamaku orang yang sore ini memutuskan tali Silaturahim”.
Setelah itu ada seorang pemuda berdiri dan meninggalkan majelis Rasul. Rupanya sudah lama ia memendam permusuhan dengan bibinya. Ia segera meminta maaf kepada bibinya tersebut, dan bibinya pun memaafkannya. Ia pun kembali ke majelis Rasulullah SAW dengan hati yang lapang. Rasulpun berkata kepadanya:
اجلس ، فقد أحسنت ، إلا أنها لا تنزل الرحمة على قوم فيهم قاطع رحم
Duduklah, kau telah berbuat kebaikan, ingat sesungguhnya tidaklah turun rahmat Allah kepada kaum yang didalamnya terdapat orang yang memutuskan tali silaturrahim (HR Baihaqi)
Dari sini bisa kita ketahui betapa Rasul tidak mentolelir sekecil apapun perbuatan memutuskan silaturrahim. Sebaliknya Rasul sangat mendorong, memotivasi kita untuk bersilaturrahim dalam arti yang hakiki.
Silaturahim tidak sekadar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Sebab esensi hakiki dari silaturrahim adalah aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata Silaturahim itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahimu yang berarti kasih sayang.
Makna menyambungkan menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Menghimpun biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Yang disebut WAASIL (orang yang bersilaturahim) itu bukanlah seseorang yang membalas (kunjungan atau pemberian), melainkan berSilaturahim itu ialah menyambungkan tali silaturrahmi tatkala ia terputus” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa Silaturahim tidak hanya merekayasa gerak – gerik tubuh, namun harus melibatkan pula aspek hati. Dengan kombinasi bahasa tubuh dan bahasa hati, kita akan mempunyai kekuatan untuk bisa berbuat lebih baik dan lebih bermutu daripada yang dilakukan orang lain pada kita. Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang kuat. Namun, bila ada orang yang tidak pernah berSilaturahim kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya, maka inilah yang disebut Silaturahim. Apalagi kalau kita berSilaturahim kepada orang yang membenci kita atau seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya. Inilah Silaturahim yang sebenarnya.
Berat memang melaksanakan silaturrahim yang hakiki ini, namun hal ini diimbangi besarnya pahala dibaliknya. Dalam sebuah hadis diungkapkan,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum dan sesekah?” tanya Rasul pada para sahabat. “Tentu saja,” jawab mereka. Beliau bersabda, “Engkau damaikan dua orang (saudara) yang bertengkar, (HR Abu daud) Maka menjembatani silaturrahmi, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah amal saleh yang lebih besar pahalanya.
Dalam Hadits yang lain
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali Silaturahim” (HR Bukhari Muslim).
Disamping pahala, silaturrahim ini memiliki nilai manfaat sebagaimana dikemukakan oleh Rasul SAW:
أسرع الخير ثوابا البر وصلة الرحم وأسرع الشر عقوبة البغي وقطيعة الرحم
“Sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan adalah balasan (pahala) orang yang berbuat kebaikan dan menghubungkan tali Silaturahim, sedangkan yang paling cepat mendatang kan keburukan ialah balasan (siksaaan) bagi orang yang berbuat jahat dan yang memutuskan tali persaudaraan” (HR Ibnu Majah).
Yang tidak kalah penting dari uraian diatas, kiranya setiap kita haruslah menyadari bahwa silaturahim dalam arti yang hakiki tadi merupakan kunci terbukanya rahmat dan pertolongan dari Allah SWT. Dengan terhubungnya Silaturahim, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Ini sangat penting. Sebab, bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak ada artinya, laksana buih di lautan yang mudah diombang-ambing gelombang, bila di dalamnya tidak ada persatuan dan kerja sama untuk taat kepada Allah. Wallahu A’lam
Leave a Reply