Nasihat Bernegara: “Tidak ada yang lebih membahagiakan selain bangsa ini rukun dan bersatu.” Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI ke-6.
Ada kaidah fikih yang berbunyi, “التابع تابع. Kaidah fikih sendiri adalah suatu rumusan umum dalam masalah fikih. Dan kaidah ini masuk dalam golongan aghlabiyah dalam kumpulan kaidah fikih. Sebagaimana masyhurnya, kaidah fikih terbagi dalam tiga kelompok: kulliyah, aghlabiyah dan mukhtalaf.
Kaidah keempat dari kelompok aghlabiyah ini terbilang cukup unik dalam pemilihan katanya. Syekh Yasin Al-Fadani dalam kitabnya Al-Fawaid Al-Janiyyah Hasyiyah Al-Mawahib As-Saniyyah menjelaskan bahwa, meski lafaznya terlihat sama, namun dalam pemaknaannya terdapat perbedaan. Itu berasal dari pengiraan lafaz yang dibuang. Sehingga, makna التابع تابع bukan “pengikut adalah orang yang ikut”, melainkan “pengikut mengikuti (panutan)”. Diksi ini selaras dengan ungkapan penyair Arab, “شعري شعري” (Syairku –sekarang— adalah syairku –yang kalian ketahui).
Maksud kaidah التابع تابع adalah sesuatu yang mengikuti harus ikut pada panutannya, yang dalam hal ini disebut matbu’. Contoh mudahnya ada pada jemaah. Dalam kasus jamaah, makmum dilarang mendahului imam. Jika masih ngotot mendahului, maka jamaahnya tidak sah. Sehingga, gerakan makmum harus ikut imam sebagai matbu’ jika masih ingin dianggap jemaah. Akan tidak lucu nantinya jika dalam suatu jemaah makmum sudah salam sedang imam masih berdiri membaca Al-Fatihah.
Penerapan dalam contoh lain dapat digambarkan dalam tiga bentuk. Pertama, memang menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan, seperti kulit dengan binatang ternak, bangunan dengan temboknya. Kedua, dapat dipisahkan secara mandiri, namun menjadi keharusan yang wajib ada sebagai satu paket, seperti kunci dan gemboknya, keris dan gagang juga warangkanya. Ketiga, memang menjadi lahan yang mesti ditempati, seperti pohon dan tanahnya.
Agaknya, kaidah ini sangat relevan bila dimasukkan dalam konsep bernegara dalam tinjauan rakyat. Untuk itu, pemaknaan التابع تابع diubah sedikit–tanpa menghilangkan konteks—menjadi, “rakyat mengikuti pemimpin.” Sehingga, dapat diperoleh pemahaman bahwa rakyat harus ikut apa yang dititahkan oleh pemimpin. Tak pandang siapa pun, baik ketua RT/RW, kepala desa sampai presiden pun harus ditaati. Namun, yang perlu digarisbawahi, keharusan di sini hanya berlaku pada aturan yang sejalan dengan agama. Jika bertentangan, maka hukumnya berbalik 180 derajat.
Sementara itu, kaidah التابع تابع memiliki banyak sub kaidah atau furu’. Seperti sub kaidah التابع لايقدم على المتبوع (Pengikut tak boleh mendahului panutannya). Seolah kaidah ini ingin menasihati kita sebagai rakyat tidak sepatutnya merasa lebih hebat dari pemimpinnya. Jadi, rakyat tinggal menjalani aturan yang diberi pemimpin. Biar yang pusing membuat aturan pemimpin saja.
Rakyat juga boleh sesekali memberi saran pada pemimpin dengan batas wajar. Jangan hanya karena tak cocok sedikit saja pada pemimpin berdemo yang ujung-ujungnya bentrok. Percuma, buang-buang tenaga saja. Tidak mencerminkan sosok muslim sejati sebagai rakyat. Misal ada pemimpin tidak beres dan sudah ada langkah mengingatkan tapi tak berhasil, mending dibiarkan saja sampai masa jabatannya berakhir.
Ini yang dicontohkan sahabat Anas bin Malik kala ditanya seorang apakah ia berkenan menganjurkan umat Islam untuk mengkudeta Al-Hajjaj bin Yusuf As-Saqafi. Al-Hajjaj adalah seorang pemimpin kejam nan bengis yang bertanggung jawab membunuh ribuan nyawa. sahabat Anas yang merupakan khadam Rasulullah itu tidak lantas menyetujuinya, malah memberi nasihat dengan menyampaikan hadis nabi yang intinya kita harus berhadapan dengan pemimpin zalim.
Kenapa bisa begitu? Jawabannya ada di sub kaidah التابع تابع berikutnya, yang berbunyi التابع يسقط بسقوط المتبوع (pengikut akan runtuh dengan runtuhnya panutan). Ini selaras dengan kondisi negara Libya beberapa tahun lalu. Rakyatnya kecewa pada Muamar Khadafi, presidennya. Lalu masyarakat berhasil mengkudetanya. Bukan kemakmuran yang mereka dapat, malah Libya tak berbentuk negara hingga bertahun-tahun. Artinya, kalau menuruti pemimpin ideal negara tak akan punya pemimpin. Karena kalau menggulingkan pemimpin pasti akan terjadi tragedi serupa sebagai bentuk pembelaan pengikut pemimpin yang digulingkan.
Jika teringat nasihat Pak SBY, betapa pentingnya kesadaran rakyat untuk mematuhi peraturan pemimpin. Pandangan ini perlu diteladani, mengingat selama ini banyak suara-suara rakyat sering mengeluhkan kinerja pemimpin. Padahal apa mereka sudah memenuhi kewajiban mereka sebagai rakyat?
(Mumianam/Mediatech An-Nur II)
Leave a Reply