Kisah lain di balik tirai agresi Belanda I: Di antara belantara semak-semak Kiai Anwar berlarian. Menggedong kedua anaknya, Kiai Badruddin dan Nyai Zubaidah yang masih kecil, bersama Nyai Siti Marwiyah (Nyai Aisyah) beliau mengungsikan keluarganya ke tempat aman. Setelah itu, Kiai Anwar tidak tinggal diam.
Keadaan mencekam hari itu. Teror pasukan Belanda membuat keadaan tidak aman. Sebanyak, kurang lebih, seratus ribu pasukan diterjunkan dalam Operation Product yang lebih kita kenal dengan Agresi Militer Belanda I itu. Dengan bersenjatakan modern yang didapat dari hibah tentara Inggris dan Australia, Belanda ingin kembali menguasai Indonesia. Padahal, negri ini baru dua tahun memploklamirkan kemerdekaannya.
Bukan hanya pemerintahan dan tentara rakyat yang kalang kabut menghalau serangan itu, rakyat di pelosok pun mengalaminya. Tak terkecuali Pondok Pesantren An-Nur yang saat itu diasuh KH. Anwar Nur. Beberapa santri dipulangkan, sedang beberapa lainnya masih menetap di pesantren. Ini bukan lah yang pertama kali. Saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, hal serupa pernah terjadi.
Secara resmi, Pondok Pesantren An-Nur berdiri tahun 1942.[1] Saat itu Jepang berhasil memukul mundur tentara Belanda dan menguasai Indonesia –yang masih bernamakan Hindia Belanda. Karena pada hakikatnya Jepang juga menjajah –mereka berkedok menjanjikan kemerdekaan untuk Hindia Belanda, keadaan masyarakat tetap tidak membaik. Justru lebih menderita, tak terkecuali KH. Anwar Nur dengan santri-santrinya.
Dikutip dari Skripsi Shonhaji, “Peranan Kyai Haji Anwar Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren An-Nur Bululawang Malang” tahun 1994, akibat dari penjajahan Jepang, terjadi kesulitan dalam memenuhi bahan-bahan yang menjadi kebutuhan pokok. Keadaan ini membuat santri-santri dipulangkan ke daerah masing-masing. Dalam sumber yang sama, dilansir dari buku “Selayang Pandang Pondok Pesantren An-Nur (Almurtadlo)”, masih ada beberapa santri yang tinggal. Dan bersama santri-santri tersebut, Kiai Anwar melakukan perlawanan fisik terhadap penjajah Jepang.
Di samping usaha perlawanan secara langsung, Kiai Anwar juga membuka sebuah perguruan kanuragan. Gunanya untuk membekali para pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hingga pada akhirnya pada 17 Agustus 1945, yang saat itu Kiai Badruddin baru berumur tiga tahun, Indonesia berhasil memploklmirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Sejak kemerdekaan itu, keadaan di Pondok Pesantren An-Nur berangsur membaik. Bahkan sekembalinya santri-santri yang dipulangkan tadi, jumlah santri bertambah banyak. “Bahkan santri baru pun mulai berdatangan dari daerah lain sehingga jumlanya semakin meningkat,” begitu lah tertulis pada Skripsi tersebut.
Akan tetapi, dua tahun kemudian, hal serupa terjadi. Pasukan Belanda kembali menduduki bangsa muda ini dan efeknya menjalar sampai ke pelosok Malang. Karena Kiai Anwar adalah tokoh masyarakat yang tersohor, beliau tidak luput dari daftar nama incaran penjajah.
Merasa tidak aman, Kiai Anwar mengamankan keluarganya. Menurut Nyai Hj. Lathifah, yang mendapat cerita ini dari Nyai Zubaidah, saat itu keluarga diungsikan ke daerah yang sekarang berdiri Pondok Pesantren An-Nur II. Kiai Anwar berlari di sela-sela alang-alang tinggi dan pepohonan belantara, menggendong kedua anaknya, Kiai Badruddin dan Nyai Zubaidah yang keduanya masih kecil, bersama istrinya, Nyai Hj. Siti Marwiyah atau yang lebih dikenal Nyai Aisyah. “Akhirnya, Kiai Badruddin kecil dengan Nyai Zubaidah itu digendong, beliau lari untuk bersembunyi di daerah di An-Nur II (sekarang),” cerita Nyai Hj. Lathifah.
Menurut penjelasan Nyai Lathifah, daerah yang sekarang berdiri Pondok Pesantren An-Nur II masih berupa hutan, tanah tak bertuan. “Jadi tumbuhan itu bukan tumbuhan ladang atau sawah, tapi tanaman hutan (tanaman liar),” jelas beliau berkisah.
Cerita ini berbeda dengan apa yang tertulis dalam Skripsi di atas. Dituliskan bahwa, “Beliau (Kiai Anwar) mengungsikan keluarganya ke daerah Gondanglegi”. Yang jelas, beliau mengamankan keluarganya ke tempat yang aman. Pelarian ini berlanjut hingga agresi militer, baik yang pertama maupun yang kedua, usai.
Selama agresi terjadi, Kiai Anwar tidak tinggal diam. Beliau, bersama santri-santrinya, tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan. Hingga sekitar tahun 1950-an, keadaan kembali kondusif. Santri-santri yang dipulangkan kembali ke pesantren, membawa teman-temannya yang lain. Sehingga jumlah santri bertambah banyak lagi.
Berdasarkan normalnya usia anak memasuki jenjang pendidikan formal, Kiai Badruddin diperkirakan mulai masuk MINU (Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama) Bululawang di usia tujuh tahun, tahun 1949. Di sekolah ini lah Kiai Badruddin kecil sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa beliau akan menjadi pribadi yang berkarakter, aktif dan idealis di masa mendatang.
[1] Peranan Kyai Haji Anwar Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren An-Nur Bululawang Malang tahun 1994, diterangkan dalam buku “Selayang Pandang Pondok Pesantren An-Nur II (Almutadlo) karangan KH. Fadhol Ahmad Damhuji, tahun 1990.
Leave a Reply