Mengulik Romantika Wisudawan Al-Miftah An-Nur II

Wisudawan, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

Dengan senyum bangga dan lega setelah seabrek pertanyaannya dijawab santri-santri belia yang baru mondok itu, Ustaz Junaidi, pengajar Al-Miftah PP. Sidogiri nampak terkesan dengan kemampuan peserta wisudawan Al-Miftah Pondok Pesantren An-Nur II “Al-Murtadlo” (Pesantren Wisata). “Luar Biasa, berikan tepuk tangan!” ucap Ustaz Junaidi kepada para jemaah yang bertempat di gedung aula Yaqowi.

Jumat, 01 April 2021, Dalam rangka Wisuda dan Ikhtitam Al-Miftah lil Ulum tahun ajaran 2021/2022, santri-santri kelas satu diniah An-Nur II pun melaksanakan prosesi wisuda program belajar cepat membaca kitabnya: Al-Miftah lil Ulum.

Layar videotron terpampang di depan panggung acara menampakkan hasil pengambilan gambar dan sarana penguji kemampuan para santri.

Setelah 73 santri yang telah dipastikan wisuda ditambah 670 santri ikhtitam memasuki aula Yaqowi lalu memempati tempat yang telah disediakan, sesi acara pertama pun dimulai. Atas instruksi para asatidz, serempak, ratusan santri tersebut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Mars An-Nur. Suara bergeming mengisi segala penjuru ruangan.

Tak hanya berhenti di situ, berbagai penampilan yang diambil dari segala potensi dan kemampuan santri membaca kitab kuning pun ditunjukkan kepada para hadirin.

Tiga orang pertama, Wasil Kautsar Khaudly, putera Kiai Imam Khaudly, Banyuwangi beserta dua orang temannya itu pun maju ke atas panggung. Setelah berada di panggung acara, seketika layar videotron menampilkan beberapa fasal dan bab di kitab Taqrib.

Setelah diberi instruksi dari pihak asatidz untuk memulai, ketiga santri itu pun membaca seluruh lafaz yang tertera secara bergantian dari bab fasal yang berbeda-beda. Kemudian, pembacaan lafaz pun segera dibaca serentak oleh semua wisudawan dan santri ikhtitam dan dipimpin oleh ketiga santri tersebut. Seluruh hadirin bertepuk tangan meriah setelahnya.

“Senang Mas, bisa membahagiakan orangtua. Meskipun, sempat merasa grogi di awalnya,” kata Kautsar dalam wawancaranya bersama tim Mediatech. Menurutnya, berkesempatan untuk dapat maju ke atas panggung di hadapan seluruh hadirin dan masyayikh An-Nur II adalah suatu kehormatan tersendiri.

Setelah penampilan ketiga santri tersebut usai, kirab wisuda pun dimulai. Tak lupa, pihak asatidz pun mengumumkan tiga wisudawan terbaik di antara mereka sekaligus memberikan apresiasi berupa tropi, sertifikat dan sekotak hadiah yang telah dipersiapkan. “Rasanya senang dan puas Mas. Beruntung bisa maju ke panggung acara. Jadi pengalaman baru,” ujar Ahdan, santri wisudawan terbaik asal Gondang Legi, Malang.

Seusai kirab wisuda berakhir, Ustaz Junaidi, perwakilan pengajar program Al-Miftah PP. Sidogiri diberi kesempatan untuk maju ke atas panggung dan mengetes langsung kemampuan para santri.

Sebelas anak dipanggil secara acak ke atas panggung acara. Beberapa dari mereka ditanya dengan pertanyaan tentang kaidah nahwu dan setelah shorof membaca lafaz-lafaz yang dipilih langsung oleh Ustaz Junaidi.

Mulai dari tarkib kalimat, qiyas sampai nazam yang menjadi dasar dari lafaz yang dibaca—semua tuntas dijawab para wisudawan.

Tak hanya Ustaz Junaidi, para hadirin pun dipersilakan menanyakan pertanyaan secara sukarela untuk menguji para wisudawan. Bahkan, selain para hadirin, Ustaz Junaidi juga mencoba agar para santri yang dipanggil secara acak tersebut agar mengetes sesama santri lainnya yang berada di atas panggung tersebut. Meski beberapa diantaranya sempat terlihat grogi, tetapi hasil akhirnya tetap satu: memuaskan—semua jawaban tuntas terjawab.

“Saya bangga akan anak-anak ini. Mereka masih kecil. Tapi tekad dan semangatnya untuk belajar sangat kuat,” ujar Ustaz Junaidi setelah menyaksikan dari hasil prosesi tanya-jawab dan seluruh kemampuan santri membaca kitab turats.

Kesan Santri dari Dapur Wisudawan dan Nominsai Terbaik

Menjadi sang juara bukanlah suatu yang mudah. Hal ini tentu juga dirasakan oleh para santri-santri cilik yang ulung membaca kitab tersebut. “Awalnya memang susah Mas, bahkan sempat bingung dulu di awal-awal ini ilmu nahwu dan shorof gunanya buat apa,” ucap Ahdan.

Tak hanya itu, rupanya perjuangan para santri dengan nominasi terbaik lainnya juga mengaku, semua awal perjuangan memang berangkat dari nol. Dalam wawancara eksklusifnya, Kautsar, selaku salah satu nominasi terbaik juga sedikit bicara tentang masa belajarnya mempelajari materi di kelas diniah. “Yang sulit itu shorof mas. Harus nyari harakat fa’ fiil dan ain’ fiil-nya. Agak pusing.”

“Kalau bukan karena rasa iri kepada teman yang lebih unggul. Mungkin saya nggak akan sampai masuk nominasi ini,” ucap Kautsar. Baginya, sebuah rivalitas bukanlah suatu masalah yang menimbulkan celah perpecahan. Melainkan sebagai jembatan untuk terus melangkah maju ke depan. Sudut pandang inilah yang ia yakini sebagai seorang santri.

(Arif Rahman/Mediatech)

                                                                                                                                                                                                    
Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK