annur2.net – Beberapa rentetan menjadi pengiring acara puncak haul Al-Maghfurlah Romo KH. Muhammad Badruddin Anwar kedelapan. Senin malam, 02 Desember 2024 di area Roudloh acara puncak berlangsung.
Kini Dr. KH. Fathul Bari S.S., M. Ag. mengingat dan menceritakan betapa hormatnya Kiai Badruddin ke orang lain terutama orang tua. Meski sudah berpisah di dunia, setiap kali ingin berbuat sesuatu Kiai Bad meminta atau menunggu isyarat dari abah, Kiai Anwar.
Bangunan pertama di An-Nur II adalah masjid. Masjid yang luas dengan santri sedikit. Banyak orang yang mempertanyakan dan mengejek sebab awal pendirian pesantren dengan bangunan tersebut. Pernah suatu hari kehabisan dana untuk melanjutkan pembangunan.
Kiai Badruddin mengutus para santri membaca Burdah dengan keliling sekitar pondok. Setelah mengamalkan hal itu tidak disangka banyak bantuan yang datang dan menyembunyikan identitas saking ikhlasnya.
Beberapa tahun kemudian, santri kian banyak hingga masjid tidak mampu menampung jemaah yang banyak. Jika hujan sering kali santri yang tidak kebagian tempat di masjid bingung salat di mana, bahkan tidak bisa ikut salat jemaah.
Dengan alasan itu Kiai Bad mulai membeli bahan bangunan dan memanggil tukang untuk pembongkaran dan perluasan. Beberapa hari kemudian proyek itu berhenti meski sudah membuat fondasi. Penyebabnya beliau bermimpi ketemu dengan abahnya dalam keadaan murung. “Aku mambengi dolok abah kok merengut (aku tadi malam melihat abah sedang murung).” Cerita Kiai Badruddin.
Sebab wajah Kiai Anwar murung, Kiai Bad menafsiri wajah abah yang murung menandakan tidak kesetujuan Kiai Anwar terhadap tindakannya. Ini salah satu bentuk birrul wa lidain Kiai Badruddin Anwar.
Teh Tanda Penghormatan
Adab selain ke orang tua, Kiai Badruddin sangat menghormati tamu-tamunya. Bentuk minimal penghormatan ke tamu dari beliau adalah membuatkan teh.
Tidak sekedar membuat teh dengan adukan biasa. Sering kali Kiai menengok sejenak ke dapur melihat santri yang menyiapkan teh untuk tamunya. Saat itu beliau dawuh ke santri “Rek iku lek gawe teh iku ojok diaduk ae, lek ngudek iku gawe dungo. (Anak itu kalau membuat teh itu jangan diaduk saja, jika mengaduk itu dengan doa.)”
Ini selaras juga dengan cerita Ustaz Zamroni saat wawancara untuk buku Sang Purnama. Beliau meski sakit tetap menyambut tamunya. Sering kali bertanya ke Ustaz Zamroni apakah sudah membuat teh untuk tamu. “Ya beliau, yang sering dawuh ke Gus Helmi, kalau ke saya itu cuman dawuh, “Gaeo Teh!” Pokok e seingat beliau, ketika melihat saya, “Gae teh!” ngono, “Tamune wes oleh kebagian teh kabeh.” Ngono, gitu.” Cerita Ustaz Zamroni saat menemani beliau di rumah sakit.
Bahasa Verbal Bukan Petunjuk
Selain terkenal dengan sifat yang mulia menghormati tamu lain. Beliau juga terkenal dengan tingkah dan ucapan yang di luar dugaan.
Seperti yang Kiai Fathul ceritakan saat acara puncak haul kedelapan. Ada calon gubernur yang minta antar oleh alumni An-Nur II ke Kiai Badruddin Anwar.
Saat menemui dan meminta doa untuk kemenangan di Pilkada, Kiai malah berbicara tentang burung, beliau mengatakan ke tamunya jika burung itu suaranya bagus. Sepulang dari kediamannya, si cagub itu protes ke alumni yang menemaninya. Karena bukan didoakan malahan mengobrol tentang burung.
Alumni membantah hal itu, karena mengetahui dan memahami maksud perkataan Kiai tadi. Maksudnya suara burung bagus adalah suara pemilihan yang dia miliki akan berbuah baik. Itu pun terbukti dia menang di Pilkada.
Kisah lain dari calon DPR RI yang meminta doa ke Kiai Badruddin. Beliau meladeni permintaan itu dan menunjukkan hasil yang memuaskan. Berselang satu periode orang itu kembali bertamu dengan tujuan yang sama. Saat itu berbarengan dengan tamu yang lain.
Saat itulah dia meminta doa. Tapi Kiai tidak menggubrisnya dan lebih memperhatikan tamu yang lain. Dengan itu benar terjadi calon DPR RI tersebut tidak terpilih.
Begitulah sebagian kisah mulia Sang Murabbi. Beliau sangat pantas menjadi suri teladan bagi masyarakat terutama santri An-Nur II “Al-Murtadlo”.
(ABU RAIHAN EFENDI/MEDIATECH ANNUR II)
Leave a Reply