Generasi orang-orang plintat-plintut, suka usul ini-itu tapi akhirnya mengabaikan rekomendasinya sendiri. Saat diutusnya Nabi Samuel, generasi ketujuh pasca kenabian Musa As adalah bukti kecerobohan yang gamblang. Nabi Samuel singgah di atas kursi masyarakat teoritis, bani Israil.
Masyarakat yang dipimpin nabi Samuel kala itu mengalami gegap gempita penjajahan. Suatu kaum bernama Amaliqoh, sebagai tamu luar, sukses menduduki tanah Israil. Semua harta kekayaan berhasil dijarah, anggota keluarga banyak yang terbunuh, dan pemukiman diobrak-abrik. Sebab itulah kemudian bani Israil segera mengadu kepada nabinya, Samuel.
Di hadapan sang nabi, mereka utarakan bencana yang lagi menimpa antero masyarakat. Mereka hendak berdedikasi melawan balik perbuatan kaum Amaliqoh. Mereka juga usul agar salah satu di antara mereka ditunjuk sebagai jendral untuk memimpin beberapa pasukan.
Atas intrusksi langsung dari Allah, nabi Samuel kemudian menunjuk seorang penggembala kampungan bernama Thalut. Lantas bani Israil menolak delegasi nabi Samuel. Sebab orang yang ditunjuk itu bukan dari golongan mereka, serta ia minim harta kekakyaan.
Namun nabi Samuel tetap teguh merekomendasi Thalut sebagai pilihan. Selain karena Thalut mahir strategi perang dengan bodinya yang gagah dan wajahnya amat tampan, juga karena Allah telah menghadiahkannya sebuah Tabut (peti) yang sarat pusaka. Di dalamnya terdapat terompah dan tongkat sakral nabi Musa, sorban nabi Harun dan benda-benda keramat lainnya.
Maka kemudian Thalut menyeleksi siapa yang layak menjadi prajurit. Alhasil terbilang 70 ribu personel sukses terpilih dan siap bertempur. Setelah pelbagai alat mapan, berangkatlah Thalut beserta 70 ribu pasukannya dari Baitul Maqdis menuju lokasi tempur.
Seleksi telah usai, namun bukan berarti tiada lagi hal yang mengujinya. Tengah perjalanan, derita mereka temui. Hawa yang panas dan tak setetes pun air tersedia. Mereka lagi-lagi mengadu kepada Thalut, tapi ia tahu jika yang dialami itu adalah suatu cobaan. Allah menguji betul keimanan mereka.
Dahaga tetap mendinding di kerongongan di setiap langkahnya. Mereka semakin menderita, tapi kemudian resah itu sedikit tenang, usai mendengar isyarat Thalut bahwa setelah ini mereka akan menyebrangi sebuah sungai. Akan tetapi, Thalut hanya membatasi seteguk air saja. Kalaupun lebih berarti mereka ogah dengan Thalut dan tidak lagi sebagai kaumnya.
Alhasil, karena memang kebebalan bani Israil, dari mereka banyak yang menyimpang, meminum air sepuasnya sampai-sampai mereka tertinggal jauh dengan kubunya dan membuat nyali mereka lebur, kemudian manjdi gentar. 313 pasukan tersisa dari jumlah awal 70 ribu personel. Merekalah yang masih patuh dengan pimpinannya, tetap teguh pendirian, plinplan.
elham
Leave a Reply