Jangan Salah! Gibah Bukan Hanya Ucapan

Ihya Ulum Ad-Din: Gibah Tidak Sebatas Lisan (1)

annur2.net – Secara umum, gibah atau rasan-rasan merupakan perbuatan membicarakan orang lain di belakangnya. Mengenai itu, menceritakan tentang seseorang tidak akan dosa kecuali ucapan yang menceritakan keburukan dan kekurangan orang lain, hingga lawan bicara memahami apa yang ia katakan. Membuat orang lain paham dan tahu kejelekan seseorang adalah menggunjing dan itu haram.

Namun ternyata, gibah tidak terbatas pada ucapan. Gibah bisa berbentuk isyarat, pandangan, kedipan, umpatan, tulisan, gerakan, dan setiap perbuatan yang dapat memberikan pemahaman kepada orang lain tentang keburukan seseorang termasuk ke dalamnya. Meskipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak langsung menyebutkan keburukan objek, tapi tetap disebut bergibah.

Contoh dalam kitab Ihya Ulum Ad-Din langsung dari salah satu istri Nabi Muhammad SAW., yaitu Sayyidah Aisyah RA. Kisahnya, Sayyidah Aisyah menceritakan tentang seorang perempuan yang tubuhnya pendek kepada Nabi Muhammad. Beliau tidak menyebutkan pendek secara langsung, tapi dengan mengangkat tangan lebih pendek dari tingginya. Setelah itu, Nabi Muhammad merespons, “Kamu (Sayyidah Aisyah) telah menggunjingnya.”Kisah tersebut menunjukkan bahwa isyarat yang menggambarkan karakter objek termasuk gibah.

Bentuk Gibah Lainnya

Gibah lainnya yakni dengan memperagakan kekurangan orang lain. Misalnya setelah melihat orang yang berjalan pincang, kita menceritakannya kepada seseorang dengan menirukan cara berjalannya yang pincang. Bahkan gibah dengan peragaan lebih buruk daripada dengan ucapan karena lebih memberikan kepahaman dan penggambaran kepada lawan bicara, seperti keterangan sebelumnya.

Jenis selanjutnya berbentuk tulisan. Ada sebuah kaidah mengatakan, “Pena adalah salah satu dari dua lisan.” Pertama, lisan mulut memunculkan ucapan, dan kedua, lisan pena menghasilkan tulisan. Apabila seseorang tidak menceritakan keburukan orang lain tapi menulisnya di dalam buku atau bahkan media sosial, secara tidak sadar dia telah melakukan gibah, hanya saja beda perantara penyampainnya. Tetapi ada keringanan yaitu ketika dalam tulisan tersebut terdapat uzur yang sangat penulis butuhkan untuk menyebutkan kejelekan orang tertentu.

Efek gibah dengan tulisan pun tidak main-main. Semua orang bica membaca buku tersebut. Dunia bisa melihat sosial media. Sekali menulis atau mengunggah tentang keburukan orang lain, akan tetap tercatat dan bisa dilihat kapanpun. Bahkan tidak hanya dosa gibah pada saat menulisnya, pelaku akan mendapatkan dosa terus-menerus sampai menghapus tulisan atau unggahannya.

Gibah Tidak Langsung

Akan tetapi, jika membicarakan orang lain tanpa menyebutkan namanya langsung dan menggantinya dengan diksi lain, seperti “Orang-orang itu/mereka melakukan kejelekan ini dan itu,” maka tidak termasuk gibah. Lawan bicara tidak akan memahami siapa yang dibicarakan. Jadi gibah hanya berlaku ketika menyebutkan orang tertentu, entah yang masih hidup maupun sudah meninggal. Membicarakan orang yang sudah meninggal dunia, memang tidak menyakitinya tapi bisa jadi menyakiti anggota keluarganya.

Maka, ucapan maupun sindiran yang menggambarkan keburukan orang lain dan membuat lawan bicara memahami siapa objeknya adalah gibah. Tetapi, jika membicarakan sikap atau keburukan dengan tidak menyebutkan orangnya langsung, tidak termasuk ke dalamnya karena lawan bicara tidak akan paham. Pelarangan dalam menggunjing adalah karena membuat lawan bicara tahu dan paham kejelekan seseorang, bukan karena membahas keburukannya. Meski begitu, seyogyanya kita tidak boleh bergibah. Kita perlu menanakan sabda Nabi Muhammad setelah Sayyidah Aisyah menceritakan perempuan yang pendek itu, kepada diri kita.

قال, “ما يسرني أني حاكيت إنساناً ولي كذا وكذا”

Rasulullah SAW., bersabda, “Aku sama sekali tidak suka menceritakan orang lain, sedangkan aku memiliki (kesalahan) ini dan itu.” (Ihya Ulum Ad-Din)

(Riki Mahendra Nur C./Mediatech An-Nur II)