Gak Kurban? Malu Dong!!

Mengapa Kita merasa Berat Menyisih kan sebagian Harta Untuk Kebaikan? Bisikan dalam Hati , Saya kan masih kekurangan…saya kan masih butuh ini…butuh itu…Tak terasa umur semakin berkurang dengan cepatnya, akhirnya kita tidak sempat lagi menabung untuk akhirat.

Berikut ada sebuah e-mail yang masuk ke inbox redaksi bulletin Al-Murtadlo yang berasal dari seorang pengurus bank, mudah-mudahan menjadi penggugah hati untuk kita semua…

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Lang-sung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun.

Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara.

Dulu setelah remaja Yu Timah be-kerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus mening kat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat YuTimah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyata nya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya.

Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta .

Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesan-tren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.

Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Se miskin itu Yu Timah masih bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengang kat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah. ”Pak, saya mau mengambil tabungan,” kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.

”Mau ambil berapa?” tanya saya. ”Enam ratus ribu, Pak.” ”Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?” ”Saya mau beli kambing kurban, Pak”. “Tapi Yu,sebe-narnya kamu tidak wajib berkurban…

Yu Timah bahkan seharusnya meneri-ma kurban dari sau-dara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?”

”Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama Ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pem beri daging kurban.”

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. “Kapankah Yu Timah mende-ngar, mengerti, menghayati, lalu meng internalisasi ajaran kurban? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya?” Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal saja umumnya tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu.

Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan
pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu
sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau
pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu
Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini

akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.  Wallahu A’lam

KISAH NYATA:

Kisah ini sudah cukup terkenal, dibaca oleh jutaan orang karena muatan pesan moralnya sangat menyentuh. Dibaca beberapa kali pun seolah tak ada bosannya dan tak ada kadaluarsanya…
Inilah kisah selengkapnya…..
Seorang pedagang hewan qurban berkisah tentang pengalamannya: Seorang ibu datang memperhatikan dagangan saya. Dilihat dari penampilannya sepertinya tidak akan mampu membeli. Namun tetap saya coba hampiri dan menawarkan kepadanya, “Silakan bu…”, lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya, “kalau yang itu berapa Pak?”
 
“Yang itu 700 ribu bu,” jawab saya. “Harga pasnya berapa?”, Tanya kembali si Ibu. “600 deh, harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah. “Tapi, uang saya hanya 500 ribu, boleh pak?”, pintanya. Waduh, saya bingung, karena itu harga modalnya, akhirnya saya berembug dengan teman sampai akhirnya diputuskan diberikan saja dengan harga itu kepada ibu tersebut.
Sayapun mengantar hewan qurban tersebut sampai ke rumahnya, begitu tiba di rumahnya, “Astaghfirullah…, Allahu Akbar…, terasa menggigil seluruh badan karena melihat keadaan rumah ibu itu.
Rupanya ibu itu hanya tinggal bertiga, dengan ibunya dan puteranya dirumah gubug berlantai tanah tersebut. Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau barang-barang elektronik,. Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh.
Di atas dipan, tertidur seorang nenek tua kurus. “Mak, bangun mak, nih lihat saya bawa apa?”, kata ibu itu pada nenek yang sedang rebahan sampai akhirnya terbangun. “Mak, saya sudah belikan emak kambing buat qurban, nanti kita antar ke Masjid ya mak…”, kata ibu itu dengan penuh kegembiraan.
Si nenek sangat terkaget meski nampak bahagia, sambil mengelus-elus kambing, nenek itu berucap, “Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga kalau emak mau berqurban.”
“Nih Pak, uangnya, maaf ya kalau saya nawarnya kemurahan, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang akan diniatkan buat qurban atas nama ibu saya…”, kata ibu itu.
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa, “Ya Allah…, ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan Imannya begitu luar biasa.”
“Pak, ini ongkos kendaraannya…”, panggil ibu itu, “sudah bu, biar ongkos kendaraanya saya yang bayar”, kata saya.
Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.(DBS)
Hikmah yang dapat kita petik:
Untuk mulia ternyata tidak perlu harta berlimpah, jabatan tinggi apalagi kekuasaan, kita bisa belajar keikhlasan dari ibu itu untuk menggapai kemuliaan hidup. Berapa banyak diantara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada kengganan untuk berkurban, padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas, ataupun aksesoris yang menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan seekor hewan qurban. Namun selalu kita sembunyi dibalik kata tidak mampu atau tidak dianggarkan. Wallahu A’lam

Semoga kita tergugah dengan cerita ini..

ADA CERITA LAIN

Ada sebuah cerita yang cukup menarik tentang kambing qurban yang mudah-mudahan dapat meningkatkan semangat berkurban kita menjelang Hari Raya Idul Adha 1432 H yang sebentar lagi akan tiba. Mari kita simak bersama cerita berikut :

 

Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Allah Ibrahim & Nabi Ismail.

 

Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.

 

” Berapa harga kambing yang itu pak?” ujarku menunjuk kambing coklat tersebut.

 

” Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang” kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.

 

” Tidak bisa turun pak?” kataku mencoba bernegosiasi.

 

” Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal” si pedagang bertahan.

 

” Satu juta lima ratus ribu ya?” aku melakukan penawaran pertama

 

” Maaf pak, masih jauh. ” ujarnya cuek.

 

Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.

 

” Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?” kataku

 

” Masih belum nutup pak ” ujarnya tetap cuek

 

” Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?” ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.

 

” Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri.

 

Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput” kata si pedagang meledek.

 

Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit.

 

” Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?” kataku kemudian

 

” Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah” katanya

 

Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian “korpri” yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.

 

” Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?” katanya kagum

 

” Dua juta tidak kurang tidak lebih kek. ” kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.

 

” Weleh larang men regane (mahal benar harganya)?” kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan ” bisa di tawar-kan ya mas?” lanjutnya mencoba negosiasi juga.

 

” Cari kambing yang lain aja kek. ” si pedagang terlihat semakin malas meladeni.

 

” Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)

 

Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas. ” katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya.

 

” Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya mas?” lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.

 

Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.

 

” Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah” si pedagang mengeluarkan selembar lima puluh ribuan

 

” Ora ono ongkos kirime tho…?” (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih

 

” Dua juta sudah termasuk ongkos kirim” si pedagang yang cukup jujur memberikan lima puluh ribu ke kakek ” mau di antar ke mana mbah?” (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah)

 

“Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa ditabung lagi)” kata si kakek sambil menerimanya ” tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu ya), sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman, takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu). ”

 

Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah disepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari mobil milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap dikayuhnya tetap dengan semangat. Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.

 

Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku yang sanggup membeli rumah dikawasan cukup bergengsi, yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super, yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya Yang sanggup mengkoleksi “raket” hanya untuk olah-raga seminggu sekali, Yang sanggup juga membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus. Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin mobilku, kendaraanku di dunia fana.

 

Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya. Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu

 

GIMANA? AYO BERKURBAN…

Anda ingin berqurban?
Kami Siap menerima Qurban Anda

 

RANCANGAN PANITIA QURBAN
PONDOK PESANTREN ANNUR 2 AL-MURTADLO

PELINDUNG                                    : KH. M. Badruddin Anwar

DEWAN PENASEHAT        :

1)      KH. Fadhol Ahmad Damhuji

2)      Dr. H. Gus Fathul Bari, S.S., M.Ag.

3)      Gus Ahmad Zainuddin, S.Pd.

PENANGGUNG JAWAB    : Helmi Nawali

Ketua                                                    : Ust. Yudik Irawan

Wakil Ketua                                    : Ust. Imam Shobari

Sekretaris                                         : Ust. Shofi Fu’adi

Bendahara                                         : Ust. Sugiman

Seksi Penerimaan Hewan Qurban    :

a)      Ust. Burhanuddin Haris

b)      Ust. Hilmy Furqoni

Seksi Pemotongan                            :

a)      Ust. Achmad Baidowi

b)      Ust. Nurcholis

Seksi Distribusi                                 :

a)      Ust. Wawan Romadlon

b)      Ust. Syifa’Syaiful Mahfudz

Seksi Dokumentasi                           : Ust. Kardiono

 

 

PEDOMAN KERJA

KEPANITIAAN QURBAN 1434 H

PONDOK PESANTREN ANNUR 2 AL-MURTADLO

KETUA

a)      Memimpin kepanitiaan Qurban Idul Adha 1434 H. Pondok Pesantren Annur 2 Al-Murtadlo Malang.

b)      Bertanggung jawab atas segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan Qurban Idul Adha 1434 H.

c)      Melakukan konsultasi dan memberikan laporan tentang pelaksanaan Qurban Idul Adha 1434 H. kepada penanggung jawab, penasehat dan pelindung.

d)     Menandatangani surat keluar bersama sekretaris.

WAKIL KETUA

a)      Membantu Ketua dalam memimpin kepanitiaan Qurban Idul Adha 1434 H. Pondok Pesantren Annur 2 Al-Murtadlo Malang.

b)      Membantu Ketua dalam bertanggung jawab atas segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan Qurban Idul Adha 1434 H.

c)      Bersama Ketua, melakukan konsultasi dan memberikan laporan tentang pelaksanaan Qurban Idul Adha 1434 H. kepada penanggung jawab, penasehat dan pelindung.

SEKRETARIS

a)      Mengatur administrasi pelaksanaan Qurban Idul Adha 1434 H. secara menyeluruh.

b)      Mengonsep, membuat dan menandatangani surat keluar bersama Ketua.

c)      Membuat sertifikat untuk para mudlohhi (dermawan yang menyerahkan hewan korban) ke Pondok Pesantren Annur 2 Al-Murtadlo.

d)     Membuat Laporan Pertanggung Jawaban tentang pelaksanaan Qurban Idul Adha 1434 H.

BENDAHARA

a)      Menerima dan mencatat uang masuk dan uang keluar.

b)      Melayani kebutuhan panitia Qurban Idul Adha 1434 H. dengan disertai rekomendasi dari Penanggung Jawab.

c)      Melaporkan neraca keuangan Qurban Idul Adha 1434 H. kepada Ketua.

SEKSI PENERIMAAN HEWAN QURBAN

a)      Melayani dermawan yang hendak menyerahkan hewan qurban ke Pondok Pesantren Annur 2 Al-Murtadlo.

b)      Mengkondisikan dan merawat hewan Qurban yang telah diterima oleh Pondok Pesantren Annur 2 Al-Murtadlo.

c)      Membelikan hewan Qurban bagi mudlohhi yang menyerahkan Qurban berupa uang tunai dengan rekomendasi dari Penanggung Jawab.

SEKSI PEMOTONGAN HEWAN QURBAN

a)      Menyediakan petugas pemotong dan nguliti.

b)      Menyediakan tempat dan peralatan pemotongan.

c)      Mengatur Jadwal Pemotongan Hewan

SEKSI DISTRIBUSI

a)      Mengatur pembagian daging Qurban ke masyarakat sekitar dan santri.

b)      Menyediakan peralatan yang dibutuhkan untuk pembagian (semisal kresek, dsb)

SEKSI DOKUMENTASI

a)      Mengabadikan seluruh proses pelaksanaan Qurban Idul Adha 1434 H.

b)      Mencetak beberapa foto (yang sudah dipilih dan berkualitas tinggi) proses pelaksanaan Qurban Idul Adha 1434 H.

 

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK