​SI ALIM TIDAK SUKA “USIL”

si alim tak suka usil, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

ONE DAY ONE HADITH

Edisi Spesial

Ditulis di depan Ka’bah
Rasulullah saw bersabda,

إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala” [HR Bukhari]
Catatan Alvers
Selama ini banyak orang mengira bahwa beribadah di masjidil haram lebih nyaman karena tidak akan ada yang usil terhadap amaliyah kita karena di tempat ini sangatlah beragam madzhab dan bahasanya. Namun kali ini saya membuktikannya, ternyata selama di sini banyak mendapati orang lain “usil” dengan apa yang saya perbuat. Mulai shalat qabliyah maghrib, idhtiba’ sewaktu sa’i hingga membaca quran dari HP.
Mendapat perlakuan “usil” semacam ini kami lebih memilih untuk no comment di hadapan mereka karena seorang yang berhaji dan berumrah dilarang untuk bermujadalah, berbantah-bantahan. Lagian juga tidak ada gunanya karena sama-sama tidak paham bahasa mereka, bahasa turki dll. Namun untuk membantu jamaah yang kebingungan dan demi berbagi pengalaman dengan alvers semua maka saya tulis pengalaman ini.
Baiklah saya mulai jelaskan dengan hadits utama di atas. Dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim mengerahkan segenap daya dan upaya serta segenap kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Hasil ijtihadnya boleh jadi benar sesuai dengan hakikatnya karena keluasan ilmunya dan boleh jadi salah karena keterbatasannya sebagai manusia yang tak luput dari salah dan khilaf. Namun hal ini tidak jadi kendala, jika ia benar dapat dua pahala jika salahpun ia tidak berdosa bahkan tetap mendapat satu pahala.
Hadits di atas menegaskan adanya perbedaan hasil ijtihad kendati dasar hukum yang digunakan adalah sama. Dan ijtihad sendiri direstui oleh Nabi saw. Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi bertanya:

كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟

Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum?

Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab:

أجتهد رأيي ولا آلو

Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan mundur.

Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda:

الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله

Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan dari utusannya Rasulullah terhadap suatu perbuatan yang diridloi Rasulullah. [HR Ahmad]
Tergesa-gesa menuduh keliru kepada amalan saudara seiman menunjukkan kerdilnya jiwa dan kurangnya wawasan keilmuan Islam. Dan sebaliknya jika seseorang tidak banyak “usil” dengan amalan orang lain yang berbeda maka hal ini salah satu indikator keluasan ilmunya.
Dzun Nun Al-Mishri berkata :

النَّاسُ أَعْدَاءُ مَا جَهِلُوا

“Manusia itu menjadi musuh terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.” [Al-Khulf Bayna Jaisy Mishr]
Selaras dengan pembahasan ini, ada sebuah kalam hikmah:

من كثر علمه قل إنكاره

Barang siapa yang banyak ilmunya maka ia sedikit mengingkari.
Syeikh sa’ud as-syuraim (Lahir th.1966) imam masjidil haram menjelaskan dalam statusnya di twitter :

إذا زاد علم المرء قل إنكاره على المخالف ؛ لعلمه أن لديه دليلا

Jika ilmu seseorang bertambah banyak maka ia sedikit mengingkari orang yang menyelisihinya (dalam suatu amalan) karena ia tahu bahwa orang lainpun memiliki dalil (atas apa yang ia amalkan [@saudalshureem]
Sikap seperti inilah yang ditunjukkan para sahabat yang merupakan generasi terbaik dalam menghadapi masalah khilafiyah. Mereka banyak beramal dan sedikit berdebat dan sebaliknya orang sekarang banyak  berdebat dan sedikit beramal. Muhammad bin Abu Bakr bertanya kepada Anas di waktu pagi saat berada di Arafah, “Bagaimana menurut Anda mengenai talbiyah di hari ini?” Anas menjawab,

سِرْتُ هَذَا الْمَسِيرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ فَمِنَّا الْمُكَبِّرُ وَمِنَّا الْمُهَلِّلُ وَلَا يَعِيبُ أَحَدُنَا عَلَى صَاحِبِهِ

“Aku menelusuri jalan ini bersama Nabi saw, di antara kami ada yang membaca takbir dan ada pula yang membaca tahlil, namun tak seorang pun dari kami yang “usil” dengan mencela temannya. [HR Muslim]
Masalah shalat qabliyah maghrib adalah masalah khilafiyah yang tdk sepatutnya di pertentangkan. Dalam Shahih Bukhari disebutkan,

صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ – قَالَ فِى الثَّالِثَةِ – لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

“Shalat sunnahlah sebelum Maghrib, beliau mengulangnya sampai tiga kali dan mengucapkan pada ucapan ketiga, “Bagi siapa yang mau, karena dikhawatirkan hal ini dijadikan sunnah.” [HR. Bukhari]
Juga ada hadits dari Anas bin Malik, ia berkata,

كُنَّا بِالْمَدِينَةِ فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ لِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ابْتَدَرُوا السَّوَارِىَ فَيَرْكَعُونَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ الْغَرِيبَ لَيَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَيَحْسِبُ أَنَّ الصَّلاَةَ قَدْ صُلِّيَتْ مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا

“Dahulu ketika kami berada di Madinah, ketika muadzin mengumandangkan adzan Maghrib, mereka langsung saling berlomba untuk melakukan shalat dua raka’at dan dua raka’at. Sampai-sampai jika ada orang asing yang masuk dalam masjid, ia akan menyangka bahwa shalat Maghrib sudah dilaksanakkan karena saking banyaknya orang yang melakukan shalat dua raka’at tersebut.”  [HR. Muslim]
Imam Nawawi menjelaskan, “Riwayat-riwayat di atas menunjukkan akan dianjurkannya shalat sunnah dua raka’at antara tenggelamnya matahari dan shalat maghrib dilaksanakan. Namun mengenai anjuran shalat sunnah sebelum Maghrib ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i, yang paling kuat dalam madzhab adalah tidak disunnahkan. Namun berdasarkan pendapat para peneliti hadits, yang lebih kuat adalah shalat sunnah sebelum Maghrib tetap disunnahkan, alasannya karena dukungan hadits-hadits di atas.” [Syarh Shahih Muslim]
Mengenai masalah Idhtiba’.

وهو جعل وسط ردائه تحت منكبه الايمن،

وطرفيه على الايسر – للاتباع

Idhtiba’ adalah mengenakan selendang ihram dengan posisi bagian tengah selendang ihram di bawah pundak kanan (sebelah bawah ketiak kanan) sedangkan kedua ujungnya di atas pundak kiri.
Pertanyaannya, bagaimanakah hukumnya idhtiba’ sewaktu sa’i? Sayyed bakri berkata:

وكذا يسن الاضطباع في السعي، قياسا على الطواف.

Begitu pula, sunnah idhtiba’ dalam sa’i dengan hukum qiyas kepada thawaf. [I’anatut thalibin]
Imam Nawawi berkata :

قَالَ أَصْحَابُنَا وَيُسَنُّ الِاضْطِبَاعُ أَيْضًا فِي السَّعْيِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَفِيهِ وَجْهٌ شَاذٌّ أَنَّهُ لَا يُسَنُّ فِيهِ مِمَّنْ حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ

Para ulama pengikut imam syafi’i berkata ; idhtiba’ hukumnya sunnah juga ketika sa’i. Dan inilah pendapat madzhab syafii dan dipastikan oleh mayoritas ulama. [Majmu’]
Dan terakhir masalah membaca qur’an dari HP. Ini menjadi pilihan karena quran di HP memberikan tanda terkahir di baca secara otomatis sehingga lebih mudah untuk lanjutan pembacaan khataman. Begitu pula ketika ada ayat yg kurang difahami maka dengan mudah mendapatkan tafsirnya.
Saya sengaja tidak mencari rujukan dalam kasus ini di dalam kitab kuning dimana HP belum ada. Namun berdasarkan fatwa-fatwa para ulama modern yang secara kebetulan kami jadikan rujukan karena kami sedang berada di saudi sehingga lebih relevan dengan pertanyaan. Syeikh shaleh munajjid, riyadh berkata :
أنه لا فرق بين التلاوة في المصحف المطبوع على الأوراق وبين القراءة في الهاتف فمنزلتهما سواء.
Bahwa tidak ada bedanya membaca quran dari mushaf cetakan berupa kertas dan membacanya dari HP. Keduanya sama saja [islamqa]
Dan dalam situs fatwa yang lain disebutkan :

وبهذا يتبين أنه إذا قرأت القرآن في الجوال بخشوع وتدبر ، لم ينقص أجرك عن قراءته في المصحف إن شاء الله ، فالمدار كله على حضور القلب وانتفاعه بالقرآن

Dengan ini menjadi jelas bahwa jika kau membaca quran dari HP dengan khusu’ dan tadabbur maka pahalanya tidaklah lebih sedikit dari membaca quran lewat mushaf. InsyaAllah. Maka acuannya adalah konsentrasi dan kemanfaatannya.[alukah]
Mohon pengertian, merujuk ke situs tersebut bukan serta merta menjadikan penulisnya seorang wahhabi. Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk banyak belajar lagi dan bersikap toleran terhadap perbedaan amaliyah.
Salam Satu Hadith,

DR.H.Fathul Bari, Malang, Ind
Ditulis di depan Ka’bah

28 Januari 2017
ONE DAY ONE HADITH

Kajian Hadits Sistem SPA (Singkat, Padat, Akurat)

READY STOCK BUKU ONE DAY#1#2

Distributor : 081216742626
UMRAH ALVERS GROUP

Periode April 2017

? Biaya : Rp.25 Jutaan

? Lama : 12 hari

?FREE Buku One Day #2

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK