Ahad Legi hari itu (6/3/2022), sekilas ingin menggambarkan sosok Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, dalam sambutannya, Kiai Zainuddin membacakan beberapa bait syiir tentang sesosok Sulthonul Auliya’ tersebut. Lengkap dengan terjemah bahasa Indonesianya.
Dari bait syiir yang beliau sampaikan, seketika para jemaah dapat menerima gambaran tentang gambaran Syekh Abdul Qodir Al-Jailani: seorang sosok yang mempelajari mazhab Imam Hambali sejak kecil.
Setelah belajar fikih mazhab Imam Hambali, sempat beliau mempelajari kitab-kitab kalangan mazhab Imam Syafi’i lalu mempelajari sampai memprektekkannya. Namun, selang beberapa waktu, beliau kemudian kembali ke mengikuti mazhab sebelumnya.
Banyak disiplin ilmu yang beliau pelajari. Selain ilmu fikih, beliau juga mempelajari ilmu tasawuf dan mengikuti syariat yang sama dengan pendahulu beliau yakni Ahlussunnah wal Jamaah.
Berkat kesungguhan beliau dalam mencari ilmu, walhasil, Syekh Abdul Qadir menjadi seorang yang sangat alim dan dikagumi banyak orang. Sampai-sampai, beliau pun mengarang kitab Al-Ghunyah yang menjadi rujukan banyak pencari ilmu.
Berawal dari satu orang yang belajar kepada beliau, lambat laun, dengan izin Allah jumlah murid beliau semakin bertambah banyak dan terlampau banyak—dikenal banyak orang.
Bahkan ketika Syekh Abdul Qadir mengisi pengajian sebanyak tiga kali dalam seminggu, jumlah orang yang menghadiri majelis beliau telah mencapai kisaran 70.000 orang.
Tak hanya itu, dari situ, tak sedikit orang yang menyimpang dari ajaran yang beliau anggap benar segera bertaubat di hadapannya karena keilmuan yang dimilikinya.
Karamah Wali dan Filter Antisipasi
Dalam sambutannya, Kiai Zainuddin menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qodir adal seorang yang memiliki banyak karamah. Seperti contohnya, dalam Manaqib Nur Al-Burhan, ada salah satu kisah Syekh Abdul Qadir yang dapat menghidupkan ayam kembali dari kematiaannya.
Akan tetapi, di tengah-tengah sambutannya, Kiai Zainuddin pun menegaskan. Sebetulnya, syarat seseorang menjadi waliyullah adalah rasa ketakwaan kepada Allah SWT, bukan memiliki kehebatan seperti bisa terbang atau lainnya.
Sehubungan dengan cerita yang berhubungan dengan anggapan banyak orang, mengenai banyak hal dan syarat kesaktian waliyullah seperti pada umumnya: terbang dan sebagainya. Tidak semua dapat dipastikan kebenarannya
Namun, jika cerita tersebut diutarakan oleh orang-orang yang tsiqoh (dapat dipercaya), maka masih ada peluang untuk mempercayainya. Hal ini dilakukan, guna memberikan antisipasi dari seorang yang kerap berbohong dan main asal saja menceritakan apa yang ia dengar—tanpa pernah mengoreksinya, bahkan tentang cerita tentang kewalian.
Maka dari itu, dalam akhir sambutannya, Kiai Zainuddin berkata, bahwa tidak baik menceritakan kewalian kekasih Allah secara berlebihan. Semua hal yang berlebihan tidaklah baik—terlebih tidak mempercayai karamah dari seorang wali Allah.
(Riki Mahendra Nur Cahyo/Mediatech An-Nur II)
Leave a Reply