PENJELASAN TERLENGKAP TENTANG PUASA SYAWAL

Bulan Ramadlan telah berlalu. Mulai hari ini kita sudah memasuki bulan Syawal. Gegap gempita mewarnai bulan ini, sebab umat Islam di seluruh dunia serempak merayakan hari raya Idul Fitri. Walaupun perayaan hari raya tahun ini tidak semeriah tahun-tahun lalu. Bagaimana ibadah kita pasca Ramadlan? Apakah kita hanya bersemangat untuk berpuasa di bulan suci tersebut ataukah kita juga memiliki semangat yang sama untuk berpuasa sunnah pasca Ramadlan? Sebagian ulama’ memberi nasehat yang sangat berharga kepada kita: Janganlah engkau menjadi hamba Ramadlan, tapi jadilah hamba Allah. Hamba Ramadlan hanya semangat beribadah selama bulan tersebut. Di luar itu, semangatnya untuk melakukan kebaikan kendor bahkan hilang.

Di antara puasa sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. adalah puasa enam hari di bulan Syawwal. Rasulullah saw. bersabda:

عن أبي أيوب الأنصاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

“Diriwayatkan dari Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah saw. bersabda: barang siapa berpuasa di bulan Ramadlan kemudian melanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun” (Shahih Muslim, 1164 dan Sunan Ibnu Majah, 1716).

MAKNA HADITS

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa puasa yang demikian terhitung sama dengan puasa setahun karena setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Puasa Ramadlan sebanyak 30 hari ditambah dengan enam hari di bulan Syawwal bila dikalikan 10, maka sama dengan 360 hari atau setahun.

ويُفسَّر ذلك بأنّ الحسنة بعَشْر أمثالها، وصيام شهر رمضان يعادل ثلاثين حسنةً، وكلّ حسنة بعَشْر أي ثلاثمئة حسنةٍ، وصيام ستّة أيّامٍ يعادل ستّين حسنةً، وبذلك يصبح مجموع أجر صيام رمضان وستّة أيّام بعده ثلاثمئة وستّين حَسَنةً تُقابل عدد أيّام السنة

“Penasfiran atas makna hadits di atas bahwa kebaikan setara dengan 10 kali lipat. Puasa di bulan Ramadlan (30 kebaikan) setara dengan 300 kebaikan. Puasa enam hari di bulan Syawwal setara dengan 60 kebaikan. Totalnya setara dengan jumlah hari dalam setahun (360)” (Hasan al-Mishri, Syarh Shahih Muslim, juz 13, halaman 16).

Menguatkan logika tersebut, Imam Nawawi dalam kitabnya menjelaskan sebagai berikut:

وإنما كان ذلك كصيام الدهر لأن الحسنة بعشر أمثالها، فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين

“Berpuasa di bulan Ramadlan dan enam hari di bulan Syawwal sama dengan berpuasa setahun, sebab kebaikan dilipatkan menjadi 10 kali. Bulan Ramadlan dilipatkan menjadi 10 bulan dan enam hari di bulan Syawwal dilipatkan menjadi dua bulan” (Imam Nawawi, al-Minhaj bi syarh Shahih Muslim, DKI, 2017, juz 8, halaman 45).

Pendapat Imam Nawawi ini merujuk kepada ayat al-Qur’an dan hadits Shahih berikut ini:

مَن جاءَ بِالحَسَنَةِ فَلَهُ عَشرُ أَمثالِها وَمَن جاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجزى إِلّا مِثلَها وَهُم لا يُظلَمونَ

“Barang siapa membawa amal baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa membawa perbuatan buruk, maka dia tidak diberi balasan melainkan setimpal dengan (perbuatan buruk)-nya, sedang mereka (sedikitpun) tidak dianiaya” (QS. Al-An’am, 160).

عن ثوبان مولى الرسول، عن الرسول -عليه الصلاة والسلام- أنّه قال: صيامُ شهرِ رمضانَ بعشرةِ أشهرٍ، وصيامُ ستةِ أيامٍ بعدَهُ بشهرينِ، فذلكَ صيامُ السنةِ

“Diriwayatkan dari Tsauban (seorang budak yang pernah dimerdekakan oleh Nabi), bahwa Nabi bersabda: puasa di bulan Ramadlan sama dengan puasa 10 bulan. Dan puasa enam hari setelahnya sama dengan puasa dua bulan, sehingga totalnya satu tahun (12 bulan)” (Imam Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, nomor hadits 5117. Lihat juga Sunan Ibnu Majah, 1715).

HUKUM PUASA 6 HARI DI BULAN SYAWWAL

Ulama’ berbeda pendapat tentang hukum puasa enam hari di bulan Syawwal. Setidaknya ada dua pendapat yang mengemuka:

  1. Sunnah berpuasa enam hari di bulan Syawwal

Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Daud, Imam Hanafi dan beberapa ulama’ yang sepakat dengan mereka. Pendapat ini merujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dam Imam Suyuthi di atas.

Imam Nawawi dalam al-Minhaj menjelaskan sebagai berikut:

فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعي وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة. وقال مالك وأبو حنيفة يكره ذلك

“Hadits ini menjadi dasar yang kuat dan jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Daud dan beberapa ulama’ yang sepakat dengan mereka dalam kesunnahan berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat makruh” (al-Minhaj bi syarh Shahih Muslim, juz 8, halaman 45).

Syeikh Abdur Rahman al-Juzairi berpendapat bahwa Imam Hanifah tidak memakruhkan dan beliau mengatakan ketiga madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Ahmad) sepakat bahwa hukum berpuasa enam hari di bulan Syawwal sunnah. Sementara menurut madzhab Maliki, makruh berpuasa enam hari tersebut.

يندب صوم ستة من شوال مطلقا بدون شروط عند الأئمة الثلاثة، وخالف المالكية

“Disunnahkan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal secara mutlak (tanpa syarat apapun) menurut tiga imam Madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Ahmad). Madzhab Maliki dalam hal ini berbeda pendapat (mengatakan makruh). ” (Abdur Rahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, al-Maktabah al-‘Ashriyah, 2004, juz 1, halaman 468).

  1. Makruh berpuasa enam hari di bulan Syawwal

Semua ulama’ sepakat mengatakan bahwa Imam Malik berpendapat “makruh berpuasa enam hari tersebut”. Sementara terkait pendapat Imam Abu Hanifah dalam masalah ini masih diperdebatkan oleh ulama’. Imam Nawawi mengutip bahwa Imam Abu Hanifah sependapat dengan Imam Malik (makruh). Namun, Syeikh Abdur Rahmad al-Juzairi mengutip bahwa Abu Hanifah tidak mengatakan makruh.

قال مالك في الموطأ ما رأيت أحدا من أهل العلم يصومها، قالوا فيكره لئلا يظن وجوبه

“Imam Malik berkata dalam kitabnya, al-Muwaththa: saya tidak pernah melihat seorangpun dari ahli ilmu yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Ulama’ di kalangan madzhab Maliki berkata: makruh melakukan puasa tersebut agar puasa tersebut tidak dianggap wajib” (al-Minhaj bi syarh Shahih Muslim, juz 8, halaman 45).

Alasan yang dikemukakan oleh madzhab Maliki ini ditentang oleh Imam Syafi’i. Suatu ibadah yang sunnah tidak lantas menjadi makruh karena sebagian atau mayoritas ulama tidak mau melakukannya. Terkait alasan kedua “khawatir dianggap wajib”, Imam Syafi’i juga mengkritik gurunya, Imam Malik. Bila alasan semacam itu dijadikan teori, maka semua puasa sunnah akan dianggap makruh, karena khawatir dianggap wajib.

ودليل الشافعي وموافقيه هذا الحديث الصحيح، وإذا ثبتت السنة لا تترك لترك بعض الناس أو أكثرهم أو كلهم لها. وقولهم قد يظن وجوبها ينتقض بصوم عرفة وعاشوراء وغيرهما من الصوم المندوب.

“Yang menjadi dasar dari pendapat Imam Syafi’i dan ulama’ yang sepakat dengannya (sunnah berpuasa enam hari) adalah hadits shahih di atas. Bila suatu perbuatan dikatakan sunnah oleh Nabi Muhammad, maka tidak boleh ditinggalkan (dianggap makruh) hanya karena sebagian, mayoritas atau semua orang tidak mau melakukannya. Alasan madzhab Maliki (makruh karena khawatir puasa tersebut dianggap wajib) terbantahkan sendiri dengan kesunnahan berpuasa sunnah seperti puasa ‘Arafah, ‘Asyura dan lainnya” (al-Minhaj bi syarh Shahih Muslim, juz 8, halaman 45).

Secara lebih detail, Syeikh Al-Juzairi menjelaskan alasan Imam Malik memakruhkan puasa tersebut:

المالكية قالوا يكره صوم ستة أيام من شوال بشروط: أن يكون الصائم ممن يقتدى به أو يخاف عليه أن يعتقد وجوبها، وأن يصومها متصلة بيوم الفطر وأن يصومها متتابعة وأن يظهر صومها، فإن انتفى شرط من هذه الشروط فلا يكره صومها إلا إذا اعتقد أن وصلها بيوم العيد سنة فيكره صومها ولو لم يظهرها أو صامها متفرقة

“Ulama’ di kalangan madzhab Maliki mengatakan makruh berpuasa enam hari di bulan Syawwal dengan beberapa ketentuan: a) orang yang berpuasa termasuk figur yang memiliki banyak pengikut atau dikhawatirkan ia menganggap puasa enam hari ini wajib, b) puasanya dilakukan secara bersambung dengan hari raya Idul Fitri, yakni dimulai di tanggal 2 Syawwal, c) puasanya dilakukan berurutan, 2-8 Syawwal, d) puasanya ditampakkan ke publik. Bila salah satu dari empat syarat ini tidak ada, maka tidak makruh berpuasa enam hari tersebut, kecuali bila ia meyakini bahwa memulai puasa di tanggal 2 Syawwal hukumnya sunnah. Bila ia meyakini demikian, maka ia makruh melakukan puasa sunnah tersebut baik tidak ditampakkan ke publik atau puasanya tidak berurutan” (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, halaman 468).

TEKNIS PELAKSANAAN

Imam Ramli berpendapat bahwa kesunnahan melakukan puasa enam hari tersebut diperuntukkan untuk orang yang berpuasa di bulan Ramadlan. Adapun bagi mereka yang tidak berpuasa di bulan Ramadlan karena udzur, maka tidak disunnahkan melakukan puasa enam hari tersebut. Namun, Imam Abu Zar’ah menyangkal pendapat tersebut. Dan semua Ulama’ sepakat bahwa puasa ini tidak disunnahkan bagi orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadlan tanpa udzur.

وقضية كلام التنبيه وكثيرين أن من لم يصم رمضان لعذر أو سفر أو صبا أو جنون أو كفر لا يسن له صوم ستة من شوال. قال أبو زرعة وليس كذلك أي بل يحصل أصل سنة الصوم وإن لم يحصل الثواب المذكور لترتبه على صيام رمضان. وإن أفطر رمضان تعديا حرم عليه صومها

“Konsekuensi dari pendapat Imam Syairazi dalam kitab al-Tanbih dan beberapa pendapat ulama’ lainnya bahwa siapa yang tidak berpuasa di bulan Ramadlan karena udzur, bepergian, masih kecil, gila, kafir (di bulan Ramadlan masih kafir, lalu di bulan Syawal ia masuk Islam), maka tidak disunnahkan baginya berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Abu Zar’ah menyanggah pendapat tersebut. Menurutnya, kesunnahan berpuasa tetap diperoleh (oleh orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadlan karena udzur), namun ia tidak mendapatkan pahala sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut karena (untuk mendapatkan pahala tersebut) harus melaksanakan puasa enam hari setelah berpuasa Ramadlan. Bila ia tidak berpuasa di bulan Ramadlan tanpa udzur, maka haram baginya melakukan puasa sunnah enam hari ini ” (Muhammad ibn Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, DKI, 2019, juz 2, halaman 423-424).

Terkait teknis pelaksanaannya, madzhab Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal sepakat bahwa yang lebih utama adalah puasa tersebut dilakukan secara berurutan dan bersambung dengan hari raya, artinya dimulai tanggal 2 hingga 8 Syawwal. Namun boleh saja dilakukan dengan selain teknis ini dan tetap mendapatkan kesunnahan.

والأفضل أن يصومها متتابعة بدون فاصل عند الشافعية والحنابلة

 “Yang lebih utama menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal adalah melakukan puasa enam hari di bulan Syawwal secara berurutan, tanpa pemisah” (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, halaman 468).

والأفضل تتابعها وكونها متصلة بالعيد مبادرة للعبادة

“Yang lebih utama adalah melakukan puasa enam hari di bulan Syawwal secara berurutan dan bersambung dengan hari raya Idul Fitri karena bergegas melakukan ibadah” (Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudl al-Thalib, DKI, 2013, juz 3, halaman 65).

والأفضل صومها متصلة بيوم العيد متتابعة وإن حصلت السنة بصومها غير متصلة به وغير متتابعة بل متفرقة في جميع الشهر

“Yang lebih utama adalah melakukan puasa enam hari di bulan Syawwal secara bersambung dengan hari raya Idul Fitri dan berurutan, walaupun bila tidak dilakukan dengan cara demikian tetap mendapatkan kesunnahan. Bahkan bila dilakukan secara terpisah di semua bulan Syawwal (misal, puasa di tanggal 2, 11, 17, 18, 22, 28, 30 Syawwal) tetap mendapatkan kesunnahan” (Hasyiyah al-Syeikh Ibrahim al-Baijuri, juz 1, halaman 580).

Berbeda dengan teknis pelaksanaan yang diajukan oleh Abu Hanifah. Menurutnya, yang lebih utama adalah melakukan puasa enam hari di bulan Syawwal secara terpisah, tidak berurutan.

الحنفية قالوا: تستحب أن تكون متفرقة في كل أسبوع يومان

 “Madzhab Hanafi berkata: disunnahkan melakukan puasa tersebut secara terpisah, misalnya tiap seminggu puasa dua hari (minggu 1 berpuasa 2 hari, minggu kedua 2 hari, minggu ketiga 2 hari, dan minggu keempat satu hari)” (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, halaman 468).

Nb* Ditulis oleh Helmi Nawali, dosen Ma’had Aly Annur 2 Al-Murtadlo pada tanggal 1 Syawwal 1441 H.

Artikel original telah di post di website : https://pesantrencahaya.com/2020/05/24/penjelasan-terlengkap-tentang-puasa-syawal/

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK