Gaya Bicara & Cerminan Diri

 Lentera Hati

Sebuah kata bijak berbunyi, “tong kosong nyaring bunyinya”, merupakan satu diantara sekian banyak ajaran moral nenek moyang kita. Peribahasa sederhana tersebut memiliki makna yang sangat luas dalam kehidupan. Berbicara, ngobrol, jagongan, bercengkarama, atau apapun istilahnya ialah aktifitas lisan dalam mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan pikiran. Ucapan lisan itu sama persis dengan ungkapan dalam bentuk tulisan. Keduanya merupakan ekspresi dari kejiwaan dan kondisi hati seseorang. Dalam sebuah syair disebutkan:

إِنَّ الكَلاَمَ لَفِي الفُؤَادِ وَإِنَّما  #  جُعِلَ اللِسَانُ علَى الفُؤَادِ دَلِيلاً

Sungguh, kalam (pembicaraan) itu letaknya dalam hati. ## Lisan hanya sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan hati.

 

Manusia oleh Allah swt. diciptakan beranekaragam; pria atau wanita, muda atau tua, kaya atau miskin, jelek dan baik, bodoh dan pandai, sedih dan senang, buta atau bisa melihat, bisa berbicara atau bisu, dan lain sebagainya. Bayangkan, andai kita membatasi makna “kalam” hanya dalam bentuk ucapan lisan, maka kita menegasikan kalam dari orang bisu.

 

Atau dengan istilah lain, kita menganggap bahwa orang bisu tidak mempunyai kalam, sebab alat untuk berucap (lisan) tidak berfungsi. Jelas, pemahaman yang demikian tidak bisa diterima oleh akal. Sebab, secara faktual kita bisa memahami perasaan atau isi hati orang bisu ketika ia menggunakan bahasa isyarat atau menuliskan sesuatu.

 

Setiap orang, bukan hanya orang bisu saja, memiliki karakteristik dan cara unik dalam mengekspresikan perasaan. Bila sedang bertamu ke rumah seseorang lalu ia bolak-balik  melihat jam dinding, berarti bahwa si tuan rumah sudah tidak menghendaki tamu tersebut berlama-lama dalam rumahnya. Dalam mengekspresikan kemarahan, tiap orang juga berbeda-beda. Ada yang secara tegas ia mengungkapkan dengan lisan. Ada yang dengan isyarat tubuh, semisal membanting sesuatu. Atau bisa jadi ia hanya diam membisu. ‘Ala kulli hall, kalam (omongan) yang hakiki itu berada dalam hati. Untuk mengekspresikannya bisa dengan berbagai cara; dengan lisan (berucap), tulisan, atau dengan bahasa isyarat.

Gaya Bicara & Kepribadian

Dalam konteks keseharian, kita bisa mengamati dan menganalisa gaya setiap orang saat berbicara. Ada yang banyak berbicara sampai-sampai ia dijuluki “bermulut dua”. Ada yang tidak berbicara kecuali tentang hal-hal yang sangat penting. Ada pula yang tidak terlalu suka bicara dan juga tidak termasuk kategori orang yang pendiam. Setidaknya, secara global gaya berbicara bisa diklasifikasi menjadi tiga model tersebut.

 

Kategorisasi ini juga berlaku dalam disiplin ilmu Balaghah. Orang berbicara, dalam ilmu Balaghah, dibagi menjadi tiga; ījaz, ithnab dan musawah. Ijaz berarti ucapan yang lebih sedikit dari apa yang dimaksudkan oleh si pembicara dan hal itu sudah bisa dipahami oleh pendengar. Misalnya, saat terjadi kebakaran di sebuah rumah, lalu pemilik rumah berteriak “Kebakaran…..”. Dengan satu kata tersebut, pemilik rumah sebenarnya ingin menyampaikan sebuah maksud yang kurang lebih “di rumahku ada kebakaran”. Begitu juga ketika kita sedang berada di jalan sedang mengendarai sepeda motor dan tidak memakai helm, lalu orang-orang berteriak “polisi”. Maka, kita akan langsung memahami bahwa di depan sedang ada polisi dan berhentilah agar tidak ditilang. Ucapan yang singkat dan padat tersebut dinamakan ijaz.

 

Lebih lanjut, ucapan yang ijaz (singkat dan padat) bisa dijadikan acuan untuk mengetahui kecerdasan seseorang. Seorang yang cerdas tidak membutuhkan banyak kata dan kalimat untuk mengungkapkan pikiran, perasaan atau ide-idenya. Dalam khutbahpun juga demikian. Khatib yang berkhutbah dengan mujazah (singkat dan padat) dianggap orang cerdas. Hal ini senada dengan sebuah hadis:

مِنْ مِئْنَةِ فِقْهِ الرَّجُلِ طُوْلُ صَلاتِه وَقِصَرُ خُطْبَتِه

“Termasuk indikator kecerdasan (tingkat pemahaman keagamaan) seseorang ialah bila shalatnya lama dan khutbahnya pendek.”

 

Ithnab kebalikan dari ijaz. Ithnab ialah ucapan yang lebih panjang atau lebih banyak dari maksud pembicara, tapi dengan tujuan memperindah perkataannya. Orang yang sedang kasmaran, cenderung lebih suka memperpanjang ucapannya baik secara lisan maupun tulisan. Pemuda yang sedang jatuh hati kepada seorang pemudi dan ingin mengungkapkan perasaannya, ia akan menulis surat kepada pemudi tersebut. Kira-kira isi suratnya demikian:

 

“Salam kenal dari seorang pemuda yang setia menunggu. Wahai bidadari, aku memiliki sebuah rumah yang begitu luas. Ada 4 kamar di sana. Satu kamar depan untuk orang tua dan keluargaku. Kamar berikutnya untuk teman-temanku. Kamar ketiga aku khususkan untuk guru-guruku. Kamar keempat masing kosong, sengaja kupersiapkan untuk seseorang yang special. Yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. Yang akan menjadi bidadari qurratul ‘aini di surga kelak. Tahukah kamu, rumahku itu adalah hatiku. Maukah kau menempati kamar keempat itu?.

 

Surat tersebut sebenarnya hanya ingin mengekspresikan perasaan sang pemuda. Ia hanya ingin mengutarakan; Dinda, maukah kau menerima cintaku. Akan tetapi, dalam surat tersebut ia memperpanjang kalimat dengan tujuan agar isi surat tersebut lebih menyentuh hati pemudi yang dicintainya. Surat cinta tersebut memakai kata-kata yang ithnab.

 

Sementara musawah ialah ucapan yang panjangnya sama dengan maksud yang ingin diutarakan. Misalnya, seorang anak kecil sedang lapar dan ia ingin makan. Lalu ia berkata pada ibunya, ibu saya mau makan. Ketiga model bicara tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi (muqtadlal hal). Bisa jadi, satu orang memiliki tiga model tersebut sesuai dengan konteksnya.

 

Tong kosong nyaring bunyinya, sebuah adagium yang –menurut saya- berada di luar tiga model bicara tersebut. Kalau orang berbicara panjang lebar dengan tujuan memperindah kalimat atau agar lebih menyentuh hati pendengar, itu masih dalam koridor ithnab. Akan tetapi, bila ia berbicara panjang lebar tanpa suatu makna, tanpa tujuan apapun, maka ini bisa dikategorikan sebagai orang yang tong kosong nyaring bunyinya atau termasuk golongan NATO (No action, talk only. Banyak bicara tanpa aksi).

 

Orang kaya tak akan banyak membeberkan kekayaannya kepada orang. Tanpa banyak berbicara, orang sudah tahu kalau ia kaya. Orang pandaipun, tak harus ia gembar-gembor bahwa dirinya orang pintar. Sebaliknya, orang yang banyak berbicara (gedabrus) tentang kekayaan atau kepandaiannya, bisa jadi ia tidak kaya dan tidak pandai.

 

Selanjutnya, orang yang suka berbicara kotor dan jorok ia memiliki hati yang kotor pula. Sebab, sebagaimana dijelaskan di atas, ucapan dan tulisan adalah ekspresi perasaan dan pikiran. Bentuk ekspresi tentu sama dengan apa yang diekspresikan. Bila yang terungkap melalui lisan atau tulisan bernilai negatif, hati orang tersebut juga negatif dan kotor. Ibarat ceret, bila air yang keluar dari ceret itu berupa kopi, maka dipastikan yang ada dalam ceret tersebut ialah kopi, bukan air putih. Sebaliknya, bila ungkapan-ungkapan yang keluar melalui lisan atau tulisan berisi kata-kata baik, berarti hati orang tersebut juga baik.

 

Terkait dengan etika berbicara, Rasulullah saw. menganjurkan kita untuk tidak menjadi orang yang banyak bicara (yang tidak atau kurang berguna). Beliau bersabda:

لا تكثروا الكلام بغير ذكر الله ؛ فإن كثرة الكلام بغير ذكر الله قسوة للقلب ، وإن أبعد الناس من الله القلب القاسي.

“Jangan banyak berbicara, kecuali hanya untuk berdzikir kepada Allah swt. Sebab, banyak berbicara selain untuk berdzikir kepada Allah menjadikan hati keras. Dan orang yang paling jauh dari sisi Allah ialah orang yang memiliki hati keras.”

Beliau juga berpesan kepada salah satu isterinya: “wahai Hafsah, jangan banyak berbicara selain untuk berdzikir kepada Allah swt. sebab yang demikian menyebabkan hati menjadi mati (keras).”

 

Oleh karena itu, mari kita menjaga ucapan. Sebab setiap kata yang keluar dari lisan memiliki konsekuensi baik di dunia maupun di akhirat. Waallahu A’lam

 

Oleh: Ag, Helmi Nawali, S.S.,

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK