Mahasiswa IDIA, Kunjungi An-Nur II

Kunjungi An Nur II Sebelum “Pembilasan”

 

Jarak tempuh arah Sumenep-Malang, bukan suatu aral berarti untuk menjalin nilai silaturrahmi. Dua mobil travel ber-plat M, kemudian tiba di halaman Pondok Pesantren Wisata An-Nur II “Al-Murtadlo”, kemarin malam, (9/4).

 

Rombongan nampak ingin segera menghapus keringat letih, usai sempat mampir di gubuk Bumi Bershalawat, Tulangan Sidoarjo, dan salah satu pesantren di Bangil Pasuruan, Dalwah. Sementara itu, An-Nur II sebagai tuan rumah, mendermakan wisma tamu sebagai lokasi penginapan.

 

Situasi khas Malang yang cukup sejuk, membuat mereka tertidur pulas. Hingga tak terasa, pagi kunjung menyapa. Sesuai prioritas berkunjung, KH. Mujammi’ Abdul Musyfi serta rombongan bergegas menuju maqbaroh Almagfurlah KH. M. Badruddin. Sepucuk doa dipanjatkan, mengharap berkah dari jejak seorang waliyullah.

Mushafahah kepada pengasuh.

Rombongan asal pulau garam itu adalah representasi himpunan mahasiswa IDIA (Institut Dirostah Islamiah Al-Amien) yang tidak lain adalah salah satu sayap lembaga pendidikan di Pesantren tersohor di Sumenep Madura, Al-Amien itu. Selain itu, mereka juga merupakan putra didik prasarjana yang telah sukses menjalani masa empat tahun dan akan berakhir di panggung wisuda awal Mei nanti.

 

Untuk itu, sambil menanti tanggal kelulusan, dari lembaga timbul insiatif untuk mengajak mereka bersilaturrahmi. “Ini merupakan agenda tahunan, yang mana dijadwalkan langsung oleh lembaga. Atasan menyebutnya “Rihlah Tazkiyah””, ujar Rahman, salah satu peserta yang cukup antusias diantara mahasiswa lain.

 

Saling Mendukung Struktur Akademis

Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Barangkali slogan itu yang tepat, untuk melirik suasana di kediaman pengasuh, Dr. KH. Fathul Bari, M. Ag, Selasa pagi (10/4). Mahasiswa yang terdiri dari 30 orang itu, ingin berbagi pengalaman dengan An-Nur II.

Mujammi’ Abdul Musyfi, Pengasuh mahasiswa IDIA putra, mengisi kalimat pertama untuk memulai perbincangan. Pemuda dalam bimbingannya itu merupakan mahasiswa intesnif. Lewat bahasa kias, hematnya, mahasiswa tersebut telah melalui proses pencucian, pembersihan, tinggal terakhir membilasnya. “Nah, untuk melewati tahap akhir ini, sebaiknya mereka diajak sowan bersilaturrahmi kepada jajaran pengasuh yang eksistensinya jelas nyata”, tutup beliau di ujung sambutan.

 

Dalam lingkup vital ini, Dr. KH. Fathul Bari, M. Ag, dipercaya memberi petuah terhadap mahasiswa prasarjana itu, kiranya nanti dapat menunjang kiprahnya berjuang di masyarakat.

 

Yang Mahal itu Santri!

Kuliah di Malang, berarti berpotensi nantinya menjadi orang sukses. Bagaimana tidak, suatu saat ia akan mencapai tingkat Sarjana (Sarung-an, Jas-an, tapi kemana-mana). Mukaddimah singkat namun bermakna, tutur yang lembut mantan dosen UIN Maliki Jurusan Ilmu Hadist, Dr. KH. Fathul Bari, M. Ag. Jika di cerna kembali, sebetulnya beliau ingin mengutarakan, bahwa santri yang identik dengan sarung dan jas itu mampu dan siap jadi apa saja. Segala profesi, kalau ada embel santri tentu akan bernilai. Semisal pedangang yang santri, petani yang santri, masyrakat tentu akan cendrung menilai ini hal yang baik.

“Karena (sesungguhnya) yang mahal itu santri. Titel sarjana tidak mempengaruhi tingkah masyarakat. Karena santri tanpa gelar sarjanapun otomatis masyrakat percaya. Namun sarjana (saja) akan justru berefek sebaliknya”, Pesan Dr. KH. Fathul Bari, M. Ag kepada mahasiswa Prasarjana IDIA di akhir pesannya.

 

(10/4/2018)

Pewarta : Elham

Editor      : Izzul Haq

 

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK