Kiai Bad: Santri Di Mana pun Tetap Santri

KH. Muhammad Badruddin Anwar, pengasuh pertama Pondok Pesantren An-Nur II “Al-Murtadlo”, pernah berfatwa “Santri ndek ndi wae tetep santri. Ndek pondok santri. Ndek dalan santri. Ndek omah santri”.

Maksud dari fatwa tersebut sebenarnya singkat. Jadilah santri sejati! Mau di mana pun kalian berada tetap ingat bahwa kalian adalah seorang santri. Kiai Bad berkata ndek pondok santri memiliki pesan tersurat. Ketika kalian menjadi santri, maka berperilakulah baik, berbudi pekerti luhur. Hal itu akan mengikat kalian selama di pondok.

Potongan kata ndek dalan santri merupakan nasihat bahwasanya seorang santri harus tetap menerapkan akhlak di mana pun kalian berada. Makna kata di jalan, dapat bermakna bahwa kita masih memiliki keterikatan dengan titel santri, pada saat kalian liburan – misalnya. Kalian masih terikat peraturan selayaknya santri. Berjamaah, berakhlakul karimah, bahkan menerapkan ilmu yang telah didapat.

Selanjutnya dalam kata ndek omah santri adalah bentuk pesan yang penting bagi santri ketika nantinya boyong. Banyak kasus ketika lepas dari lingkungan pondok pesantren lupa dengan kesantriannya. Padahal tidak demikian. Lepas dari pesantren tak semudah burung yang terbang lepas dan lupa sangkarnya. Seharusnya lebih berat jika kita telah keluar dari pesantren. Karena akan berat untuk melakukan salat berjemaah selayaknya di pesantren secara rutin lima waktu.

Bukan hanya salat jemaah semata yang akan terasa berat jika terlepas dari pendidikan pesantren. Kita juga akan kesulitan melakukan kegiatan lain sebagaimana mestinya saat di pesantren. Karena pada hakikatnya ketika telah menyandang gelar santri akan terbawa hingga akhir hayat nanti. Walaupun telah pulang dari pondok pesantren.

Yang sudah boyong saja masih terikat tali kesantriannya. Apalagi yang masih di pondok pesantren. Bahkan tali yang mengikat akan begitu erat. Kita dapat mengetahui bahwa pengikatan di sini tak selamanya mengekang. Namun, jika kalian lepas atau sebagai santri yang telah pulang dari pesantren. Maka, ia memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup secara individu. Akan tetapi, ia harus ingat dengannya sebagai santri. Artinya ingat bahwa sebagai santri memiliki guru atau kiai.

Jika kita mau meneliti, di dunia ini tidak ada yang seutuhnya bebas. Burung yang terbang bebas pun masih memiliki batas ketinggian. Ikan lepas di laut bebas juga memiliki batas kedalaman. Bahkan manusia juga memiliki aturan-aturan yang mengikatnya. Mungkin jika kalian melihat para pejabat akan terkesan suatu kebebasan. Padahal tidak. Malahan presiden pun yang menjadi pemerintah tertinggi di suatu negara, kinerja kerjanya masih dalam pengawasan. Masih memiliki keterikatan dengan peraturan.

Fatwa tersebut bukan suatu pengekangan. Itu wajar terjadi. Agar kita mendapat ilmu yang lebih berkah. Karena kita tidak bisa mendapat keberkahan dengan uang yang banyak. Tidak pula dengan waktu yang panjang. Namun, hanya dengan ketaatanlah kita akan mendapat berkah.

(Anzaauf/Lingkar Pesantren)