KH. Fathul Bari: Bicaralah Sesuai dengan Dosisnya

bicaralah sesuai dengan dosisnya, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

Empat belas abad yang lalu, ada cerita bagaimana bijaknya Rasulullah memberi informasi kepada para sahabat. Hal ini bermula saat salah satu sahabat bertemu sayyidina Umar bin Khottob. Sahabat itu memberitahu Sahabat Umar kalau ia telah mendengar salah satu sabda nabi, yang berbunyi: “Barang siapa yang bersaksi tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah, maka ia akan diharamkan masuk neraka oleh Allah.”

Mendengar hal itu, Sahabat Umar menghentikan dan menyuruh sahabat itu agar tidak memberi tahu yang lain. “Berhenti, jangan kau teruskan ke siapa-siapa hadis itu!”, perintah Umar. “Aku  akan bertanya dulu ke Nabi Muhammad mengenai hadis ini.”

Setelah bertemu Nabi Muhammad, Sahabat Umar pun langsung  mengatakan keresahannya itu. “Ya Rasulullah, apakah sebaiknya hadis yang Anda sampaikan tadi tidak disebar ke orang awam? Karena jika hal itu sampai terjadi, bisa-bisa orang awam akan salah paham. Mereka akan menganggap hanya dengan membaca syahadat mereka akan bebas dari api neraka.” Mendengar keluhan Sahabat Umar, nabi pun menjawab: “Iya, itu lebih baik.”

Mulai saat itulah nabi hanya memberi tahu hadis tersebut kepada orang yang pemahaman agamanya sudah dalam. Seperti ketika Nabi menyampaikannya kepada sahabat Mu’adz. Setelah diberi tahu hadis itu, sahabat tersebut ingin menyebarkannya. Namun Rasulullah, dengan bijaknya, melarang dengan alasan akan banyak orang yang salah paham.

Lalu, bagaimana bisa hadis tersebut sampai ditulis di kitab Shohih Bukhori? Padahal nabi melarang untuk menyebarkannya.

Dalam Pengajian Shohih Bukhori

Menyikapi ini, Dr. KH. Fathul Bari, S.S., M. Ag dalam pengajian Shohih Bukhori mengatakan: “Hadis ini disampaikan oleh Mu’adz saat menjelang wafat.” pada pengajian rutin Ahad Legi tanggal 06 Januari 2019 itu beliau melanjutkan, sahabat Mu’adz takut kalau tidak menyampaikan hadis tersebut. Sebab, dalam hadis lain, disebutkan bahwa orang yang menyimpan ilmu akan disiksa di neraka kelak. Sedangkan hadis termasuk ilmu juga. Maka, di akhir hayatnya, sahabat Mu’adz menyampaikan hadis itu kepada orang di sekelilingnya. Dengan syarat tidak disebarkan ke orang awam.

Dari cerita ini Kiai Fathul memberikan nasihat, tidak semua omongan yang baik boleh disampaikan. Artinya, jika kita akan menyampaikan informasi itu melihat siapa pendengarnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi salah paham. Karena Islam memberitahu kita bahwa taraf berpikir setiap manusia itu berbeda.

Semisal, jika seorang pendengar sorang anak SD, maka bobot pembicaraannya harus setingkat. Jika tidak, anak SD tersebut akan kebingungan. Bahkan bisa menjadikan fitnah. “Jadi intinya, ilmu (atau informasi) itu seperti halnya obat”, tutur Kiai Fathul di depan ribuan jamaah yang hadir. “Kalau sakit ringan, dosisnya harus rendah. Kalau sakitnya parah dosisnya juga harus tinggi. Bukan sakit ringan diberi dosis tinggi. Bisa-bisa sakitnya akan bertambah parah karena over dosis.”

Tak hanya nabi, Allah pun memberikan mukjizat kepada para nabi sesuai dengan kadar pemahaman umatnya. Kiai Fathul mencontohkan Nabi Isa. Beliau diutus pada zaman majunya ilmu kedokteran. Maka, Allah memberi mukjizat kepada Nabi Isa berupa ilmu kedokteran atau penyembuhan. Bahkan Nabi Isa bisa menyembuhkan orang yang buta sejak lahir. Padahal, meskipun ilmu kedokteran sudah maju, zaman itu tidak ada yang mampu menyembuhkan.

Nabi Muhammad pun begitu. Beliau diutus pada zaman maju-majunya sastra. Diturunkanlah mukjizat berupa Alquran. Kitab suci umat Islam ini memiliki sastra yang sangat tinggi. Sehingga para sastrawan bisa mengerti kalau Islam itu bukan agama buatan manusia, melainkan turun langsung dari Tuhan.

Dan pada pengajian yang digelar di depan masjid An-Nur II itu Kiai Fathul berpesan, “Ngomonglah sesuai dengan kadar pemahaman yang diajak bicara. Jika tidak akan bisa mengakibatkan salah paham. Kalau sampai salah paham ini terorganisasi, maka akan menjadi paham yang salah.”

(Mumianam/Media-Tech An-Nur II)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK