Hakekat Idul Fitri

idul fitri, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

Idul Fitri dapat dimaknai melalui dua pendekatan. Pertama, dengan meng-gunakan pendekatan etimologis. Berdasarkan arti katanya, Idul Fitri berarti kembali berbuka (futur), dan kepada fitrah (kesucian). Makna pertama, dikaitkan dengan puasa. Selama bulan Ramadhan kaum muslimin diwajibkan untuk mengubah pola hidup, dan berbeda deari bulan-bulan sebelumnya, yakni untuk tidak mengkonsumsi makanan dan minuman di siang hari (termasuk hubungan seksual suami istri). Saat satu Syawal (Idul Fitri), larangan itu dicabut, dan dikembalikan (‘ied) kepada kebiasaan semula, boleh berbuka (futur). Sedangkan makna yang kedua, kembali (‘ied) kepada fitrah (fitri).

Ramadhan melatih kaum muslimin untuk mengendalikan hawa nafsunya, baik yang berkaitan dengan dorongan jas-maniah, maupun yang bersifat rohaniah. Kebiasaan untuk memperturutkan dorong-an jasmaniah (makan, minum, dan seksual), diminimalisasi melalui latihan “pemotongan” alokasi waktu operasional nya. Siang-malam dan pagi-sore harus “dipangkas” jadi malam saja. Kaum muslimin dilatih “begadang.” Lalu ke-biasaan untuk memperturutkan dorongan rohaniah (pemarah, dengki, sombong dan dkk-nya), juga dikecilkan “volumenya”.

Upaya dan latihan Ramadhan ini diharapkan akan memberi pengaruh kepada kaum muslimin, dalam mengubah pola hidup yang cenderung menjadikan “semau gue” sebagai way of life . Melalui latihan ini, “kekuasaan” hidup diharapkan dapat “dijinakkan”, dan dikembalikan ke “habitat” aslinya, yakni sebagai makhluk yang fitri. Dengan demikian, ibadah Ramadhan merupakan proses pensucian. Kaum muslimin dilatih untuk menemukan kembali pola hidup yang didasarkan pada nilai-nilai kesucian dengan berintikan nilai-nilai Ilahiyat. Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Suci, hanya mungkin dihampiri oleh manusia yang memiliki nilai-nilai kesucian. Pada pendekatan ini, maka Idul Fitri dimaknakan sebagai kembali kepada kesucian.

Dengan kembali kepada kesucian, berarti seorang muslim menemukan jati dirinya. Dalam perjalanan hidupnya selama 11 bulan, bukan mustahil seseorang melakukan berbagai aktivitas yang menodai nilai-nilai fitrahnya. Berbagai kegiatan yang ia lakukan, mungkin tidak sejalan dengan tuntutan agama Allah dan bimbingan risalah Rasul-Nya. Perbuatan menyimpang dari nilai-nilai ajaran agama ini mungkin dilakukan oleh setiap kita baik secara sengaja, ataupun karena lupa atau lalai.

Bila dibiarkan berlarut-larut, perbuatan tersebut dikhawatirkan akan jadi kebiasaan yang buruk, dan bakal menyengsarakan diri. Tindakan yang demikian itu disebut sebagai perbuatan yang medzalimi diri sendiri. Agar tidak tersesat ke jurang kenistaan, maka melalui ibadah puasa seorang muslim diingatkan kembali kepada tugas-tugas penghambaan kepada Sang Pencipta. Untuk itu seorang muslim perlu dibersihkan dari berbagai pengaruh negatif yang bersumber dari dorongan gejala kejiwaan tingkat rendah. Jasmani dibersihkan dari penguasaan dorongan biologis hewani, agar tidak dikendalikan oleh sifat rakus untuk mengejar kenikmatan bendawi. Rohaninya dibersihkan dari sifat buas, dan sombong yang bersumber dari dorongan nafsu tanpa kendali. Harta bendanya juga dibersihkan dari percampuran unsur-unsur kotor yang diperoleh dari kiat-kiat bersifat manipulatif. Pensucian ini merupakan bagian dari pencerahan diri, guna mengantarkan seorang muslim menemukan jati dirinya. Dengan Idul Fitri, diharapkan seorang muslim dapat memasuki era kehidupan baru, yakni kehidupan yang sejalan dengan fitrahnya yang hakiki. Fitrah yang didasarkan pada

nilai-nilai Ilahiyat dan nilai-nilai insaniyahnya. Dengan demikian seorang muslim diharapkan mampu secara konsisten mengikuti petunjuk Allah (hidayah), hingga segala aktivitasnya memiliki kesepadanan dengan perintah dan kehendak-Nya (taufiq). Hidupnya menjadi terbimbing ke arah jalan Tuhan. Tidak lagi menyimpang. Idul Fitri sebenarnya adalah mengembalikan manusia ke khittahnya sebagai hamba pengabdi dan khalifah Allah. Kembali kekhittah berarti manusia harus mampu menyesuaikan peran dengan status yang disandangnya.

Oleh karena itu hikmah Idul Fitri lebih mengarah kepada pembenahan nilai-nilai spiritual, bukan nilai-nilai material. Motto Idul Fitri terkandung dalam ungkapan :” Laisal ‘id liman labisal jadid walakinnal ‘id liman toatuhu taziid”. ‘Id Bukanlah bagi orang yang mengenakan baju baru, namun bagi yang ketaatannya bertambah. Sungguh disayangkan, bila dalam merayakan ‘Id kaum muslimin masih terbuai oleh nilai-nilai material. Sementara nilai-nilai spiritual yang menjadi esensinya jadi terlupakan. Bukankah ini “biang”nya, buat apa “botol”nya. Wallahu A’lam

Doc Buletin AL-Murtadlo  ed. 16

 

 

 

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK