ETIKA MAKAN ALA NABI

etika, ETIKA MAKAN ALA NABI, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

 

Berbagai tudingan miring telah banyak ditujukan kepada agama Islam, yang kitabnya palsu lah, yang Nabinya pembohong, yang irasional, dan sebagainya. Tuduhan-tuduhan tersebut biarlah menjadi bahan instropeksi bagi umat Islam untuk mengkaji Islam lebih dalam.

 

Salah satu ciri khas Islam bahwasanya Islam tidak hanya mengatur hal-hal besar dalam kehidupan. Islam memberikan rule (aturan) dalam setiap aktifitas manusia. Pada kesempatan ini, akan dibahas bagaimana etika dan aturan sebelum menyantap makanan.

 

Hemmm, makanan? Ah, tema yang sederhana atau mungkin diremehkan oleh sebagian kalangan. Tapi, jangan salah. Makanan memiliki dampak yang sangat hebat dan luas. Makanan bisa berdampak terhadap kesehatan jasmani dan rohani. Makanan juga berdampat terhadap keselamatan dunia dan akhirat.

 

Bahkan, meminjam istilah Imam Ghazali, makanan berdampak terhadap kaya atau miskin. Makanan juga merupakan ibadah, sebab kaidahnya “Ma yusta’anu ‘alal ibadah, ibadah” (Sarana dan prasarana ibadah juga dikategorikan sebagai ibadah).

 

Bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan oleh seseorang sebelum menyantap makanan? Untuk menjawab hal ini, penulis merujuk kepada kitab Ihya’ Ulumuddin, magnum opuznya Imam Ghazali (Tunggu karya penulis edisi berikutnya yang akan membahas tentang pemuja dan pencela Ghazali).

 

Etika Pertama,

Sebelum makan, hendaknya seseorang memperhatikan status makanan dan minuman yang “halalan thayyiban”. Makanan itu harus diperoleh dengan cara yang halal dan tidak syubhat. Selain itu makanan harus thayyib, makanan yang menurut kebanyakan orang dianggap enak, sedap dipandang, dan bersih. Kenapa harus yang halal? Makanan halal setidaknya mengandung kepatuhan terhadap Tuhan dan aspek sosial.

 

Dengan memakan makanan yang halal, berarti kita telah mematuhi dan mentaati titah Tuhan. Bukankah tidak ada hal lain yang lebih besar ketimbang mematuhi titah-Nya? Implikasi dari kepatuhan tersebut, kita akan diselamatkan dari siksa Neraka. Nabi saw. pernah bersabda: Ma nabata minal haram, fa Annaru awla bih (Daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih pantas baginya).

 

Artinya, secuil saja barang haram yang masuk ke dalam tubuh, bisa dipastikan hal itu akan menyebar mengikuti aliran darah dan kemungkinan tumbuh menjadi daging dalam tubuh kita. Sehingga, jangan secuilpun memakan makanan dan minuman yang haram.

Selanjutnya, ke-halal-an juga berdampak terhadap aspek sosial. Artinya, dengan memakan yang halal saja, kita tidak mendzalimi sesama. Berarti makanan itu didapatkan dari cara yang halal dan baik, bukan dengan jalan mencuri, merampok, mencopet, menjarah, korupsi, dan sebagainya.

Etika Kedua,

Membasuh tangan sebelum makan. Islam dengan aturan ini berusaha menjaga kesehatan umatnya. Kita tahu bahwa dalam satu jam saja, tangan sudah menyentuh banyak hal: menyentuh tubuh sendiri, tubuh orang lain, pulpen, buku, komputer, sepeda motor, atau bahkan menyentuh sesuatu yang jelas-jelas jorok dan kotor.

Barang-barang tersebut bisa dipastikan memiliki bakteri yang menempel padanya, sehingga tatkala tangan menyentuh benda-benda tersebut tentu bakterinya juga akan menempel ke tangan si penyentuh. Di sinilah pentingnya mencuci tangan sebelum makan. Jangan sampai bakteri dan kotoran yang menempel di tangan ikut masuk ke dalam tubuh, sehingga suatu saat akan berdampak negatif terhadap kesehatan.

Kalau istilahnya Imam Ghazali, menyitir sebuah hadis “Berwudlu’ (membasuh anggota tubuh, utamanya tangan) sebelum menyantap makanan menegasikan kefakiran”. Atau dengan kata lain, dengan membasuh tangan sebelum makan, berarti kita menghindari kefakiran. Kata-kata ini berusaha mensugesti umat Islam agar selalu memperhatikan kebersihan dan kesehatan. Sebab sehat itu mahal.

 

Penyakit itu kebanyakan berasal dari pola makan yang salah, termasuk diantaranya makan dengan tangan kotor. Konon, untuk operasi usus buntu saja dibutuhkan dana sekitar 20 juta rupiah. Artinya, bila gara-gara makan dengan tangan kotor saja bisa menyebabkan penyakit usus buntu, maka akibatnya kita akan mengeluarkan uang 20 juta untuk mengatasi penyakit itu. Andai saja tangannya disterilkan dulu sebelum makan, maka 20 juta tidak akan melayang.

 

Etika Ketiga

Ialah menggelar tikar (sufrah) di atas tanah sebagai tempat menyantap makanan atau dalam istilah terkini “Lesehan”. Aturan ini bukan suatu keharusan, hanya sebuah tawaran yang memiliki nilai sosial. Artinya, boleh-boleh saja makan di atas meja, makan di atas pesawat, makan di manapun dan menggunakan sarana apapun. Namun, apa yang ditawarkan oleh Imam Ghazali nampaknya memiliki nilai plus.

 

Nilai plus yang bisa dipetik dari duduk ala lesehan adalah sebagai berikut:

Pertama ,

Tanah merupakan esensi manusia. Dengan metode lesehan, kita diingatkan akan asal-muasal kita.

Kedua,

dengan lesehan, kita diajarkan untuk senantiasa memiliki rasa tawadhu’ (rendah diri). Tidak ada perbedaan antara majikan dan pesuruh, pejabat dan rakyat, kyai dan santri, rektor, dosen, dan mahasiswa, semuanya berbaur di atas tikar yang digelar. Duduk model lesehan tidak menjadikan yang berstatus sosial rendah merasa sungkan.

Berbeda bila duduk diatas kursi dan makananya ditata sedemikian rupa di meja. Dalam situasi seperti ini, yang merasa status sosialnya lebih rendah akan segan duduk di atas kursi. Dengan kata lain, lesehan menciptakan keakraban tanpa pandang bulu.

Ketiga,

lebih relaks ketimbang duduk model lainnya. Lesehan membuat kita leluasa bergerak. Kita bisa duduk dengan berbagai model, sesuai dengan suasana forum. Bila dengan teman sejawat, kita bisa duduk bersila, berselonjor, atau model duduk yang lainnya. Bila dengan atasan, setidaknya kita menjaga sikap agar terlihat sopan, jangan duduk berselonjor.

 

Akhir-akhir ini warung, depot, dan restoran juga mulai merubah desain tempat duduknya. Sudah banyak yang mendesain rumah makan dengan model lesehan. Ini merupakan sebuah bukti bahwa duduk model lesehan memiliki nilai plus yang saya sebutkan di atas. Artinya, rumah makan selama ini sudah merasa jenuh dengan model-model sebelumnya, dan berusaha kembali ke khittah (lesehan), sehingga nuansa yang diciptakannya menjadi penarik bagi konsumen.

 

Etika Keempat

yaitu hendaklah makan dan minum dengan duduk yang tenang. Jangan makan dan minum dalam keadaan berdiri, terlentang, atau sambil berlari. Anjuran duduk saat menyantap makanan atau meneguk minuman memiliki dua makna.

Pertama,

orang yang makan sembari duduk dengan tenang akan terlihat lebih berwibawa ketimbang makan sambil berdiri atau dalam posisi lainnya. Islam menginginkan umatnya agar terlihat wibawa dan tidak diremehkan oleh orang lain. Bayangkan bila seorang presiden atau pengasuh pondok pesantren menyantap makanan sambil berjalan atau sambil tidur-tiduran, tentu hal itu akan mencoreng harga diri dan kewibawaannya.

Kedua,

Islam memperhatikan kesehatan umatnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan “Janganlah kamu minum sambil berdiri”. Larangan ini bila dilihat dari sisi medis ternyata berdampak terhadap kesehatan tubuh. Tubuh ibarat selang air. Bila selang itu tidak menekuk, maka saluran air akan sangat lancar dan cepat. Begitu pula tubuh, bila kita mengkonsumsi makanan atau minuman sambil duduk, maka apa yang kita konsumsi akan berjalan pelan dan lembut. Berbeda bila minum sambil berdiri, maka akan menyebabkan makanan dan minuma jatuh ke usus dengan keras dan cepat, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan.

 

Lebih lanjut, posisi berdiri menuntut tubuh bekerja keras untuk menjaga keseimbangan dan agar bisa berdiri dengan stabil dan sempurna. Sehingga bisa dipastikan, dalam keadaan berdiri otot-otot menjadi lebih tegang dan tidak relaks. Ini merupakan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat terpenting pada saat makan dan minum. Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, di mana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat.

 

Hal ini tentu bertolak belakang dengan sebagian budaya kita saat menjamu para tamu. Ketika menjamu tamu, biasanya kita cenderung untuk memberikan pelayanan dan suguhan yang terbaik, di antaranya dengan menghidangkan makanan ala Prasmanan. Setiap tamu yang hadir dipersilahkan sendiri memilih menu makanan yang sesuai dengan seleranya masing-masing. Dan biasanya model prasmanan ini tidak menyediakan kursi / tempat duduk yang memadai. Sehingga kebanyakan tamu akan makan sambil berdiri, jongkok, dan sebagainya tergantung stok kursi yang disediakan oleh tuan Rumah.

 

Nampaknya budaya prasmanan dengan fakta seperti yang saya sebutkan di atas harus didesain ulang sehingga semua orang yang ikut makan dan minum dalam jamuan tersebut bisa makan dan minum sambil duduk dengan tenang. Siapa yang harus mendesain ulang????

 

Etika Kelima,

menata niat. Ingat bahwa Makan merupakan sarana untuk mendukung terlaksananya ibadah dengan sempurna. Tubuh memerlukan stamina dan kekuatan yang bisa tercukupi dengan makanan dan minuman. Dengan berniat agar kuat dan sempurna dalam melaksanakan kewajiban, maka aktifitas makanpun bernilai bahkan merupakan ibadah itu sendiri. Sebab kaidahnya, ma yusta’anu ‘alal ibadah, ibadah (Segala hal yang dijadikan sarana dalam ibadah, juga dinamakan ibadah). Aktifitas makan secara lahir memang tidak ada kaitannya dengan ibadah, namun bila aktifitas tersebut ditujukan agar seseorang kuat dan sempurna dalam melaksanakan ibadah, makan makanpun juga dikategorikan sebagai aktifitas yang bernilai ibadah.

 

Ketika hendak menyantap makanan, kita dianjurkan untuk menata niat sehingga aktifitas makan yang kita lakukan memiliki nilai plus. Sebab, bila makan hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan nafsu, tidak ada bedanya antara orang Islam dengan non-Islam. Tidak ada bedanya antara manusia dengan hewan yang tak pernah berniat “’I’anah ‘ala taqwa”. Jadi, niat tersebut menjadi pembeda antara yang berakal dan tidak berakal, antara yang Islam dan non-Islam.

 

Dengan menata niat semacam itu, salah satu implikasinya adalah makan saat tubuh membutuhkannya, bukan saat nafsu menginginkannya. Bila perut sudah merasa lapar, baru ia mengkonsumsi makanan dan itupun hanya sekedar untuk mengganjal perut (tidak terlalu kenyang). Sehingga tidak ada beda antara menu makanannya lezat atau tidak, ia tetap makan sesuai dengan kebutuhan. Berbeda bila motivasi makannya adalah nafsu, pasti ia akan makan dengan lahap sampai kenyang. Nabi Muhammad saw. bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما ملأ آدمي وعاء شرا من بطنه حسب ابن آدم لقيمات يقمن صلبه فإن لم يفعل فثلث طعام وثلث شراب وثلث للنفس

Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan.” HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban”

 

Hadis tersebut di atas merupakan anjuran agar makan tidak terlalu kenyang, sebab kondisi perut yang terlalu kenyang bisa mengakibatkan kemalasan dan rentan penyakit. Bukankah Rasulullah saw. seumur hidup hanya sakit dua kali? Apa rahasianya? Sebenarnya tips sehat ala Rasulullah saw. terletak pada hadis ini.

 

Etika Keenam,

makan seadanya. Bila makanan sudah disiapkan untuk kita, maka janganlah menunggu atau mencari makanan lain yang lebih lezat. Nikmatilah makanan yang sudah disediakan. Berusahalah untuk belajar makan apa adanya. Mengapa Rasulullah mengajarkan etika semacam ini? Apakah beliau menginginkan umatnya hidup miskin? Tidak, dengan anjuran semacam ini Rasulullah saw berusaha mengajak kita hidup sederhana sebab di luar sana betapa banyak saudara-saudara kita yang belum bisa menikmati makanan enak atau bahkan tidak bisa menikmati makanan ala kadarnya. Anjuran ini berusaha meningkatkan kepekaan sosial.

 

Selain itu, anjuran semacam ini berusaha mengajarkan kita agar menghargai segala sesuatu termasuk makanan. Makanan yang sudah ada itu harus dinikmati sebagai bentuk penghargaan kita terhadapnya. Bila kita masih mencari menu lain, sementara di hadapan kita sudah tersedia, berarti kita menghina makanan yang sudah ada atau kurang menghargainya. Dengan kata lain, anjuran Rasulullah ini juga berusaha meningkatkan “kepekaan sosial terhadap makanan”.

 

Etika Ketujuh,

 

usahakan setiap kali makan kita mengajak orang lain untuk makan bersama. Anjuran ini mengajarkan kita untuk hidup bermasyarakat, tidak egois, tidak individualis, sosialis, lomanis, dan sebagainya. Dilihat dari aspek ini, sebenarnya Islam sangat memperhatikan aspek sosial. Pada etika-etika sebelumnya telah saya jelaskan bahwa di antara etika yang ditawarkan berusaha meningkatkan kepekaan sosial. Harapannya, tidak ada kesenjangan yang signifikan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, tua dan muda, dan seterusnya. Sehingga kehidupan bermasyarakat menjadi lebih sejahtera secara merata.

 

Demikian ketujuh etika yang harus diperhatikan oleh “para pemakan” sebelum menikmati dan menyantap makanannya. Semoga tulisan yang singkat ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Amin.

Wallahu A’lam

Oleh Ag. Helmi Nawali S.S,.

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK