Bicara Itu Ada Seninya

bicara, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

                Islam merupakan agama yang komplit. Tidak hanya membahas tentang salat, puasa, dan peribadahan lainnya, Islam juga menjelaskan berbagai aspek kehidupan. Salah satu di antaranya mengenai bidang komunikasi. Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, metode komunikasi yang baik juga menjadi sangat penting jika kita sadari. Itu juga butuh seni di dalamnya, sebuah manajemen komunikasi.

                Kata “manajemen” sendiri berasal dari bahasa Inggris “manage” yang berarti mengatur. Bukan hal yang remeh untuk sekedar mengatur tata komunikasi, baik dengan seorang pribadi maupun dengan khalayak umum. Bahkan tak jarang suatu permasalahan dapat terpicu hanya karena kesalahpahaman dalam suatu pembicaraan. Dan salah paham akan selalu menyebabkan paham yang salah.

                Perlu diketahui, Allah SWT memerintahkan kita untuk berbicara dengan benar dan baik, bukan bicara dengan keras. Sering kali seseorang salah dalam menyikapi hal tersebut. Tak sedikit juga orang yang masih berbicara dengan keras dan beralasan untuk menyelesaikan konflik. Padahal, berbicara dengan keras di saat itu, hanya akan menambah perpecahan antar pihak yang terlibat konflik. Karena sejatinya, meski jarak kedua belah pihak itu dekat, namun hati mereka saling berjauhan.    

                 Seseorang akan bereaksi seiring dengan sesuatu yang diterimanya. Fitrah kita senang ketika mendengar kabar baik. Dan akan menjadi susah, kala mendengar kabar yang buruk. Ternyata dalam penyampaian beragam informasi, terdapat trik khusus agar dapat lebih diterima seseorang. Caranya, ambil perspektif terbaik untuk menyampaikan suatu hal. Karena tidak semua kebenaran akan dapat diterima hati manusia secara natural. Manipulasi terkadang berperan penting dalam masalah ini.

Kisah Keluarga Ingin Berkurban

                Tercantum suatu cerita yang masyhur di tanah Madura. Dikisahkan, terdapat salah seorang Kepala keluarga, ia ingin melaksanakan ibadah kurban pada Idul Adha untuk seluruh anggota keluarganya dengan seekor sapi. Karena anggota keluarganya ada delapan, ia lalu menanyakanya kepada salah seorang pemuka di daerahnya mengenai tata caranya. “Tidak boleh pak! Kalau sapi, hanya cukup tujuh orang,” kata pemuka agama tersebut. Walhasil, seorang Kepala keluarga ini pun marah-marah, ia beranggapan sudah niat beramal baik kok masih saja dilarang.

                Tak kehabisan akal, kepala keluarga itu pun datang ke kiai lain. Rumornya, kiai lain tersebut berasal dari Madura. Saat menanyakan perihal yang sama, uniknya kiai tersebut memperbolehkannya. “Loh, kok bisa? Padahal di tempat lain, jawabannya selalu tidak boleh,” tanya kepala keluarga tersebut. Mendengar hal itu, kiai asal Madura ini memberikan jawabannya, “Kan, anak bapak yang terakhir masih sangat kecil, alangkah baiknya diberikan pijakan untuk menaiki sapinya agar tidak jatuh. Pijakannya juga harus hewan kurban. Jadi masih butuh seeokor kambing lagi.”

                Melalui metode penyampaian yang berbeda, kendati kepala keluarga tersebut yang keras kepala, tak disangka dapat menerimanya. Akhirnya, ia membeli lagi seekor kambing untuk dijadikan kurban. Dengan anggapan sebagai pijakan anaknya untuk menaiki sapi. Dari kisah ini dapat disimpulkan,  jalannya komunikasi yang berbeda-beda metodenya, akan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda pula.

Penyampaian suatu hal dalam komunikasi tidak melulu harus disampaikan secara gamblang. Hanya berdalih kebenaran yang terasa kaku. Perlu juga sebagai penyampai komunikasi untuk memainkan sudut pandang. Menyeimbangkan perspektif agar lebih selaras dengan hati seseorang. Kalau tidak begitu, bisa-bisa banyak orang yang berniat gagal melakukan kebaikan hanya karena caranya kurang tepat. Padahal masih terdapat trik yang bisa menyiasatinya.

(M. Arif Rahman Hakim/Mediatech An-Nur II)

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK