ANDA RAGU, KEMBALI !

ragu, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

ANDA RAGU, KEMBALI

Oleh: Ahmad Zain Bad.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.
Tinggalkan perkara  yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.

Makna Hadist:

Tinggalkanlah setiap apa yang menjadikanmu ragu dari perkara-perkara yang syubhat. Dan beralihlah pada perkara yang tidak membuatmu ragu dari perkara yang halal. Maka jika engkau ahli ijtihad berijtihadlah, dan jika tidak, tanyalah kepada ahli ilmu.  Jika engkau menemukan ketenangan hati dan kelapangan jiwa maka  ambillah jika tidak maka buanglah. Dan ini adalah sebuah toriqot untuk waro’ dan ikhtiyat.
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi rahimahullah di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin (hlm. 88) berkata, “Wara’itu memiliki empat tingkatan:
1.Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2. Wara’ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya.

Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3. Wara’ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4. Wara’ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini adalah wara’ para shiddiqin (orang-orang yang tinggi imannya).”
Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya (dalam mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perkara yang dilarang), seimbang amalannya dalam hal takwa dan wara’.
Adapun orang yang secara lahir suka berbuat keharaman, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang rinci maupun tersamar, hal ini tidak akan mungkin baginya. Sikapnya ini diingkari (sekadar omong kosong). Karena itulah, Ibnu ‘Umar radhiyallahu  ‘anhumamengingkari orang-orang dari penduduk Irak yang bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk.
Beliau berkata, “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk, sementara mereka telah menumpahkan darah al-Husain radhiyallahu ‘anhu. Padahal aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا
“Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul ‘Ulum,1/283]
Faedah Hadist;

  1. Lafadz دع  dalam redaksi hadist ini bukanlah bermakna wajib tapi memberikan makna sunnah (anjuran) untuk meninggalkan perkara yang syubhat, dan meninggalkan perkara yang masih diragukan.
  2. Perintah untuk senantiasa Waro’ (berhati-hati) dalam setiap perkara syubhat, dan anjuran untuk mengambil yang  jelas halal dan meninggalkan yang haram.
    Kisah.
  3. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Budak tadi berkata kepadanya, “Apakah engkau tahu darimana aku dapatkan makanan ini?”
    Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Darimana engkau mendapatkannya?”
    Budaknya menjawab, “Dahulu di masa jahiliah aku pernah meramal untuk seseorang. Sebenarnya aku tidak pandai meramal, aku hanya menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.”
    Mendengar hal tersebut, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu segera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang telanjur masuk ke dalam kerongkongannya. Kemudian ia memuntahkan semua makanan itu. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3842)
  4. Nafi‘ berkata, ‘Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menetapkan subsidi rutin bagi para sahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4.000, sementara putranya ia tetapkan sebesar 3.500.
    Ada yang berkata kepada ‘Umar, “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?”
    Umar menjawab, “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3912)
  5. Al-Hasan bin Ali radhiyallahu  ‘anhumamenceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, segera mengeluarkan kurma itu dari mulut al-Hasan dan membuangnya.
    Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apa masalahnya, wahai Rasulullah, apabila anak kecil ini memakan kurma tersebut?”
    Rasulullah shallallahu alaihi wa sallammenjawab,
    إِنَّا آلُ مُحَمَّدٍ لاَ تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ
    “Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
    Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Sebab, kejujuran itu adalah ketenangan di hati, sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”
  6. Yazid bin Zurayi’ rahimahullah

mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu, namun ia tidak mengambilnya. Ayahnya bekerja untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat keranjang dari daun kurma. Penghasilan itulah yang digunakannya untuk makan sehari-hari sampai beliau rahimahullah meninggal dunia. (al-Wara’, al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, hlm. 7)
5. IMAM ABU HANIFAH menahan diri tidak memakan daging kambing, setelah mendengar bahwa bahwa ada seekor kambing dicuri.

Imam Abu Hanifah menahan untuk tidak memakan daging kambing selama beberapa tahun, sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya, hingga diperkirakan kambing itu telah mati. (Ar Raudh Al Faiq, hal. 215)
6. IMAM ABDURRAHMAN adalah ulama Syafi’yah yeng terkenal dengan sifat wara’nya. Istri beliau yang bernama Khurrah Binti Abdurrahman As Sinjawi menyampaikan, bahwa suaminya tidak memakan nasi. Hal itu disebabkan karena penanaman padi membutuhkan banyak air sedangkan amat sedikit penanam yang tidak melakukan kedzaliman terhadap yang lainnya demi untuk mengairi lahannya. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 5/102)
7. Diriwayatkan bahwa Imam Al-Haramain setiap kali ditanya seseorang, ia selalu dapat menjawab. Namun suatu kali ditanya seseorang, ia tak berkutik. ”mengapa kau tak menjawab?” tanya seseorang. ”mungkin karna sisa susu yang masih tertinggal” ”apa maksudmu?” ”dahulu sewaktu aku masih menyusu, ayahku sangat berhati2 dalam menjaga minumanku. Beliau tidak membiarkan ibuku makan sesuatu, kecuali yang benar2 halal. Suatu hari seorang budak keluarga fulan masuk ke rumah kami. Tanpa sepengetahuan ibuku, budak itu meletakan aku di pangkuaanya kemudian menyusuiku. Mengetahui hal ini ayahku sangat marah lalu memasukkan jarinya kedalam mulutku, sehingga aku muntahkan semua susu yang baru saja kuminum dari budak itu. Namun, rupannya masih ada susu yang tersisa.” Imam Al-Haramain adalah tempat bertanya masyarakat. Beliau menghafal ucapan guru beliau, Abu Bakar al-Baqillani, yg tertulis dalam 12000 lembar kertas mengenai ushul. Ketika Imam Al-Haramain wafat, 400 wadah tinta murid2nya tak berfungsi lagi. Mereka berkata,”kali ini, ilmu benar-benar Mati.” namun setelah setahun kemudian keadaan pulih seperti sediakala. Para murid Imam al-Haramain dapat menggantikan kedudukan gurunya. Mereka menjadi rujukan masyarakat. Salah seorang di antaranya adalah Al-Ghozali. (terjemah manaqib habib Ali Habsy (simthu durar)


Hadist ke 21.

Dari kitab Mukhtar Hadist susunan Habib Umar bin Hafidz.
Pengajian Jum’at pagi, Halaman Masjid An Nur Al Murtadlo.

Pondok Pesantren AnNur 2 Bululawang Malang.


Webiste: Annur2.net

https://www.facebook.com/annur2malang/

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK