Media Sosial Adalah Media Dakwah

Media Sosial, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo
Jajaran pengasuh bersama KH Daniel Nafis pada pengajian rutin Ahad Legi.
Media Sosial, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo
Jajaran pengasuh bersama KH Daniel Nafis pada pengajian rutin Ahad Legi.

“Gunakan media sosial untuk dakwah, bukan curhat”

 

Demikianlah Dr. KH. Fathul Bari M. Ag bertutur dalam pengajian kitab “Shohih Bukhori”. Artinya, dengan menulis sesuatu yang baik-baik di media sosial, dapat memberikan banyak manfaat bagi banyak orang. Dan bukan sebaliknya, kalau yang dituliskan adalah curhatan isi hati atau suatu ujaran kebencian, maka yang timbul adalah fitnah. Tidak lain karena di zaman super modern dan super cepat ini, media sosial telah menjamur di masyarakat tanpa memandang umur dan tingkat sosial. Baik yang muda maupun yang tua, dari yang hidupnya pas-pasan hingga yang kaya raya, semua berperan aktif sebagai pengguna media sosial.

 

Kalau kita melihat di bus, di jalan, di restoran dan di setiap sudut kota, biasa kita temui orang-orang yang sibuk dengan dirinya sendiri. Tanpa menggubris orang di sekelilingnya, mereka lebih peduli terhadap ponsel pintar yang ada dalam genggamannya.

 

Alhasil, media sosial pun menjadi banyak sarana bagi masyarakat. Mulai sarana komunikasi, sarana bisnis, sarana pendidikan dan berbagai macam kepentingan lainnya. Dari sinilah, media sosial yang diciptakan oleh orang non Islam itu, dapat menjadi lahan dakwah bagi umat Islam.

 

Maka dari itu, pada pengajian yang dilaksanakan pada hari Ahad Legi (25/02) itu, Kiai Fathul menekankan kepada kita untuk menyebarkan ilmu yang kita peroleh. Tidak peduli seberapa banyak ilmu itu, tetapi dengan sedikitnya ilmu yang kita miliki itu, yang terpenting dapat anfa’ (bermanfaat) bagi sesama.

 

Dakwah itu bisa dilakukan melalui media sosial yang digunakan. Katakan saja Facebook, Twitter, Instagram serta lusinan media sosial yang ada. Kalau media sosial sudah digunakan untuk kebaikan, semacam dakwah, maka konflik-konflik sosial yang didalangi oleh berita-berita palsu (HOAX) dapat ditanggulangi.

 

Diceritakan, ada dua orang sahabat yang sedang bermain ke pantai, sebut saja si A dan si B. Lalu, di pantai itu, keduanya bertengkar karena suatu hal. Dan si B pun menuliskan di pasir pantai bahwa si A telah menyakiti hatinya. Dan tanpa disangka-sangka, si B tenggelam terbawa ombak. Sebagai seorang teman, si A pun menolongnya. Karena ditolong, si B pun menuliskan di batu karang “si A telah berbuat baik kepadaku”.

 

Dari cerita ini, Kiai Fathul memberikan nasihat kepada kita bahwa, isi hati tentang kejelekan orang lain, tuliskan saja di pasir pantai. Artinya, jangan disimpan terlalu lama, biarkan ujaran negatif itu hanyut bersama ombak. Sedang suatu kebaikan, tuliskan di batu. Tidak lain supaya terus diingat dan orang lain yang membaca, akan tahu serta berbuat baik pula kepada kita.

 

*Santri Adalah Generasi Penerus Ulama*

 

Pada pengajian yang dilaksanakan di depan Masjid An-Nur II itu, hadir pula seorang alumni tahun 1992 yang berkesempatan menyampaikan petuah nasihat kepada ribuan jamaah yang hadir. Beliau adalah KH. Daniel Nafis S. E., M. S. I dari Jakarta Selatan. Seorang mubaligh yang dua tahun mondok di An-Nur II ini, menyampaikan banyak hal tentang pentingnya menjaga keimanan di zaman abad 21 ini.

Media Sosial, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo
KH. Daniel Nafis dari Jakarta Selatan, seorang alumni tahun 1992 dalam pengajian rutin Ahad Legi 25 Februari 2018.

Beliaupun juga menyampaikan perihal media sosial yang sering kali digunakan sebagai lahan dakwah. Tetapi, dakwah itu justru dilakukan oleh golongan orang-orang wahabi dan aliran keras lainnya.

 

Sehingga, faham semacam wahabisme itu akan mudah sekali dikonsumsi oleh masyarakat. Padahal, faham seperti itu sangat tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Maka dari itu, santri sebagai penerus generasi ulama harus berperan aktif pula berdakwah guna meluruskan faham-faham salah yang mereka sebarkan melalui media sosial. Hal ini penting karena masyarakat awam terlalu mempercayai “Google” sebagai sumber rujukan.

 

“Menjadi santri bukanlah sebuah kebetulan, tapi itu adalah amanat untuk meneruskan perjuangan para ulama”, tutup Kiai Daniel yang sebenarnya asli Wong Malang itu.

 

Pewarta               : Izzul Haq

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK