HAKIM YANG ADIL

Hakim, HAKIM YANG ADIL, Pondok Pesantren Wisata An-Nur II Al-Murtadlo

 

Lentera Hati

 

Jabatan hakim bukanlah jabatan yang mudah, karena memutuskan suatu perkara diperlukan pertimbangan- pertimbangan yang cermat, arif serta bijaksana.Seorang Hakim ketika akan memutuskan perkara ia dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat mempengaruhi keputusannya se-hingga  Ia harus sangat berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah sebab yang bersalah kadang-kadang dibenarkan. Sedang yang benar terkadang disalahkan.

 

Seorang hakim menjadi sangat rentan akan berbagai penyimpangan akan berbagai penyimpangan baik yang dilakukan secara sengaja misalnya memutus seseorang yang bersalah kemudian dibenarkan hanya karena memberikan uang kepada hakim tersebut ataupun yang dilakukannya secara tidak sengaja misalnya me mutus seseorang yang tidak bersalah karena bukti-bukti yang menunjukan demikian.

Pembagian Hakim

Berdasarkan hal tersebut,  maka Rasul saw membagi hakim atas tiga macam:

 

Beliau bersabda : “Dari Abu Hurairah dari bapaknya r.a dari Nabi SAW bersabda beliau: “hakim itu ada tiga macam di dalam syurga tempatnya, dan yang dua macam itu di dalam neraka. Adapun yang di dalam surga tempatnya ialah hakim yang mengerti akan yang benar Lalu ia menghukum dengan yang benar itu. Dan hakim yang mengerti kebenaran lalu ia bertindak dholim dengan sengaja,  maka dia akan masuk neraka, dan hakim yang menghukum manusia atas kejahilan (ketidak tahuan) maka ia tidak akan masuk neraka”.

 

Di negeri ini, tidak sedikit orang yang benar yang berperkara di depan hukum namun ia harus meringkuk dipenjara karena ia tidak punya uang untuk diberikan kepada hakim. Dan betapa banyak orang yang salah namun bisa bebas karena memiliki uang yang banyak, ataupun jika ia memang tidak bisa keluar dari penjara, ia bisa menyulap sebuah penjara layaknya hotel bintang lima.

 

Kisah Tantang Hamim yang Adil

Berikut kami ceritakan kisah seorang hakim yang adil dan bijaksana, mudah2an menjadi memotivasi kita untuk berbuat yang terbaik. Bukankah setiap kita adalah pemimpin yang juga memutuskan perkara, meskipun dalam lingkup keluarga.

 

Dahulu ada seseorang memegang jabatan qodhi (hakim) di Syibam. Selama puluhan tahun tak ada seorang pun yang datang mengadu kepadanya. “Mengapa di antara kalian tak ada yang berkelahi, tak ada yang bersengketa,” keluhnya suatu hari kepada penduduk kota. “Penghuni kota ini satu dengan lainnya telah didamaikan Quran,” jawab mereka,

 

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40)

 

“Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS Asy-Syuraa, 42:40)

“Mereka tidak butuh kamu. Apa yang hendak kau hakimi jika mereka telah bersatu.” Ia hanya duduk bengong setiap hari. Penampilannya seorang hakim, namun perbuatannya seperti pengangguran. Setiap hari ia masuk kantor, meski tak ada seorang pun mengunjunginya.

 

Setelah 14 tahun, datang dua orang menemuinya  “Ada apa?” tanya pak hakim. “Kami ada masalah,” jawab salah seorang tamunya. “Alhamdulillah, selamat datang, selamat datang, selama bertahun-tahun aku merindukan kejadian ini. Kemarilah, duduklah, aku akan bertindak adil kepada kalian.” Sang hakim bersiap-siap hendak memamerkan semua ilmunya, karena ini adalah kasus pertama yang akan ia adili selama 14 tahun masa bakti. “Nah, ceritakanlah persoalanmu!”

 

“Aku membeli sebidang tanah dari orang ini. Dalam tanah itu ternyata ada harta karun emas. Pada harta itu terdapat tanda-tanda bahwa harta itu dari masa sebelum Islam yang berarti bahwa harta itu adalah rikaz.”  “Benar,” kata pak hakim. “Kalau itu harta rikaz, maka sudah seharusnya menjadi milik pemilik tanah pertama.

 

Aku lalu mendatanginya dengan membawa harta itu. Kukatakan kepadanya bahwa semua emas itu adalah miliknya. Namun, ia tidak mau menerima. Katanya ia telah menjual tanah itu kepadaku.” “Aneh…, inikah pengaduanmu? Sekarang jawablah!” perintah pak hakim kepada tamunya yang lain.

 

“Pak Hakim yang mulia, tanah itu berikut isinya telah kujual, jadi aku tidak berhak lagi atas harta itu. Sewaktu menjual aku tidak berkata, ‘Kujual tanah ini tidak termasuk harta karunnya.’ “Harta itu tersimpan dalam tanah yang telah kujual, maka sudah selayaknya harta itu menjadi milik si pembeli tanah.” “Sungguh aneh…, inikah jawabmu?” “Ya.” “Bagaimana pendapat kalian sekarang?”

 

“Pak Hakim yang mulia, Engkau mengetahui syariat-syariat Allah. Ambillah harta ini dan gunakanlah,”  kata mereka berdua. “Kalian hendak menyelamatkan diri dan membinasakan Pak Hakimmu, ya?! Tidak bisa begitu!”  “Kalau begitu adililah kami.”  “Sabaaar…, bersabarlah…, kamu punya anak?”  “Ya, aku punya seorang puteri.” “Kamu?” “Aku punya seorang putera.”

 

“Baiklah, keluarkanlah 1/5 harta tersebut sebagai zakat karena itu adalah harta rikaz. Kemudian gunakanlah 4/5 sisanya untuk pernikahan putra-putri kalian. Sekarang pergilah kalian dari tempatku ini.”

Subhanallah, Seandainya hakim-hakim kita seperti hakim tersebut, maka sungguh akan tegak keadilan dan meratalah kemakmuran negeri ini. Wallahu A’lam

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK