Berilmu, Beramal, dan Berdakwah

Santri Harus Berilmu, Beramal, dan Berdakwah

 

Ilmu adalah sesuatu yang sangat urgen bagi manusia. Ia dibutuhkan dalam semua lini kehidupan dan oleh setiap orang, apapun profesi dan jabatannya. Petani harus tahu ilmu pertanian. Pedagang harus memahami ilmu perdagangan. Seorang koki harus mendalami ilmu tata boga. Orang kaya tanpa mengetahui bagaimana memanajen keuangan dan mengembangkan usahanya yang baik, niscaya akan segera bangkrut atau bahkan menjadi gelandangan yang hidup di kolong jembatan. Bahkan, pencuri-pun harus mengetahui tatacara mencuri yang baik. Dengan ilmu, mereka bisa mendapatkan hasil yang memuaskan dari apa yang mereka tekuni.

 

Sedangkan bagi santri, ilmu memiliki posisi vital dan lebih urgen. Sebab ilmu, bagi mereka, bukan hanya untuk tujuan duniawi (materi) saja, namun juga untuk bekal menghadapi kehidupan yang lebih abadi (sarmadi), yakni kehidupan akhirat. Hal inilah yang menjadi pembeda antara mereka dengan komunitas lain yang hanya mengedepankan aspek materi.

 

Ada tiga aspek fundamental yang dikaji santri, yaitu aqidah, ibadah, dan “muamalah.”.  Aqidah adalah ilmu (tauhid) yang membahas tentang keyakinan dan kepercayaan yang harus tertancap dalam sanubari santri, seperti sifat wajib bagi Allah. Lebih dari itu, aqidah harus mulai ditanamkan pada anak sejak dini. Sedangkan ibadah bertugas membenahi adab mereka terhadap sang pencipta, bagaimana sholatnya, bagaimana puasanya, dan lain sebagainya.

 

Di samping itu, mereka tidak menafikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang perlu seserawung (al-mudarah baina an-nas). Muamalah mempelajari etika ber-sosial dengan orang lain, etika berdagang, etika memperbanyak keturunan, dan sebagainya. Santri juga dibekali berbagai ketrampilan (softskill), sebagai bekal mereka untuk menghadapi tantangan kehidupan dan zaman yang penuh dengan intrik busuk dan persaingan.

 

Anehnya, mereka terkadang hanya sebatas mempelajari ilmu-ilmu tersebut, khususnya ibadah dan muamalah, tanpa ada follow up (kelanjutan) dari apa yang telah mereka dapat. Atau dengan istilah lain, mereka belum mengamalkan ilmu yang diperoleh saat mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Padahal sudah jelas, bahwa ilmu tanpa amal laksana pohon tak berbuah. Buahnya ilmu ada dua, yaitu al-‘amal (mengamalkan) dan an-nasyr (menyebarkan). Ilmu yang diiringi oleh amal serta disebarkan kepada orang lain itulah yang disebut dengan ilmu nafi’ (ilmu manfaat). (Lihat bab fadhlu al-‘ilm di kitab Ta’lim al-Muta’allim).

Beramal

Al-‘amal, dalam al-Qur’an dan al-Hadits sering diungkapkan dengan kata khosyah/taqwa (ketakwaan). Ungkapan tersebut sangat tepat, sebab ilmu yang dipelajari oleh santri bermuara pada “melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”, di mana hal ini sering dijadikan definisi dari takwa. Hal ini senada dengan pendapat pengarang syarh al-hikam li ibni ‘Athoillah as-Sakandari, bahwa ketika al-Qur’an menyebutkan kata ilmu, maka yang dimaksudkan adalah ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat).

Allah berfirman dalam surat al-Faatir ayat 28:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاءُ

Artinya: “Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah, hanya ‘ulama yang khosyah (takwa) kepada-Nya.”

Dalam ayat tersebut, Allah menyandingkan kata ‘ulama, yang musytaq (terbuat) dari kata ilmu, dengan kata khosyah. Ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud ‘ulama dalam ayat di atas adalah mereka yang memiliki ilmu manfaat, bukan sekedar ilmuwan belaka.

 

Beramal

Allah juga berfirman dalam ayat yang lain (al-Mujadalah:11), bahwa orang yang akan diangkat derajatnya disisi Allah adalah orang yang beriman dan berilmu:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ و الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَات

Artinya: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.”

Yang dimaksud dengan kata ilmu dalam ayat di atas adalah ilmu manfaat, artinya bahwa mereka yang diangkat derajatnya adalah orang-orang yang dianugerahi ilmu manfaat.

Sedangkan hadits yang menjelaskan tentang ilmu manfaat banyak sekali, diantaranya:

مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا

Artinya: “Barang siapa ilmunya bertambah, namun tidak dibarengi dengan bertambahnya petunjuk (ketakwaan), maka ia semakin jauh dari Allah.”

 

Hadits tersebut memiliki dua redaksi, pertama memakai kata “huda” (petunjuk) dan redaksi kedua memakai kata “tuqaa” (ketakwaan). Dalam kedua hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW juga menyandingkan kata ilmu dengan kata takwa. Dari keterangan itulah kemudian disimpulkan bahwa “yang dimaksudkan dengan ilmu dalam al-Qur’an atau al-Hadits adalah ilmu manfaat”, sebagaimana disebutkan dalam syarh al-hikam.

 

Berdakwah

Manfaat ilmu terbagi menjadi dua, manfaat individual dan manfaat sosial. Manfaat individual yakni ilmu tersebut hanya memberikan efek positif bagi pribadi pemiliknya atau ilmu yang hanya berbuah amal. Sedangkan manfaat sosial, adalah ilmu yang bermanfaat bagi pribadi dan masyarakatnya, baik dengan memberikan tauladan yang baik, dengan mengajar, atau dengan menjadi da’i. Ilmu yang bermanfaat secara sosial ini disebut dengan ilmu yang berbuah amal dan nasyr.

Sebagai santri, jadilah orang yang berilmu, beramal, dan berdakwah, agar bisa hidup bahagia di dunia dan akhirat.

* By: Helmi, S.S.

Pondok Pesantren An Nur II Al Murtadlo

Home
PSB
Search
Galeri
KONTAK